Breaking

Thursday, January 30, 2014

MAKALAH KEJAHATAN KORPORASI

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Alhamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah Tuhan seru sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul ” KEJAHATAN KORPORASI ”.
Dalam penyusunannya, penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak, karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: Kedua orang tua dan teman-teman yang telah memberikan dukungan, yang begitu besar.
Dari sanalah semua kesuksesan ini berawal, semoga semua ini bisa memberikan sedikit kebahagiaan dan menuntun pada langkah yang lebih baik lagi. Meskipun penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan, namun selalu ada yang kurang.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar Makalah ini dapat lebih baik lagi. Akhir kata penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.


   Arga Makmur,     November 2013
                            Penyusun


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR            …………………………………………….. .       i

DAFTAR ISI                     ……………………………………………… .       ii

BAB I PENDAHULUAN        …………………………………………….. .       1
A. Latar Belakang             …………………………………………….. .       1
B. Rumusan Masalah         …………………………………………….. .       1
C. Tujuan Penulisan          …………………………………………….. .       1
D. Manfaat                      ……………………………………………… .       1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA  ………………………………………………        2
A. Kerangka Konseptual    ……………………………………………… .       2

B. Kerangka Teoritis         ……………………………………………… .       6



BAB III PEMBAHASAN       ……………………………………………….        12

A. Kejahatan Korporasi     ……………………………………………….        12

B. Sebab-sebab Adanya Kejahatan Korporasi …………………       .       13



BAB IV PENUTUP              ………………………………………………..       19
    A. Kesimpulan                  ………………………………………………..       19    
  B. Saran                         ………………………………………………..       20

DAFTAR PUSTAKA             ………………………………………………..       21

 

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Korporasi sebagai alat yang sangat luar biasa untuk memperoleh keuntungan pribadi tanpa perlu adannya pertanggung jawaban. Pada berbagai sektor perekonomian, dapat ditemukan satu contoh pelanggaran korporasi yang telah menimbulkan banyak kerugian dan kerusakan. Walaupun terdapat berbagai bukti yang menunjukkan adanya kejahatan korporasi, namun hukuman atas tindakan tersebut selalu terabaikan. Kejahatan korporasi yang telah terjadi pada berbagai perusahaan di masa lalu dapat hidup kembali. Oleh karena itu, perlu diketahui bagaimana untuk mencegahnya.
Banyak perusahaan sering, dengan sengaja bahkan berulang-ulang, mencemoohkan hukum; mereka melakukan tidakan yang melanggar hokum namun dengan mudah keluar dari tuntutan hukum. Padahal masyarakat sangat terganggu akibat tindakan korporasi tersebut. Pandangan masyarakat pada bentuk kejahatan korporasi sangat berbeda dengan pandangan mereka pada kejahatan jalanan. Hampir pada setiap kejadian, efek dari kejahatan korporasi selalu lebih merugikan, memakan biaya lebih besar, berdampak lebih meluas, dan lebih melemahkan daripada bentuk kejahatan jalanan.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas dapat dirumuskan suatu masalah
yaitu :
1. Apa yang dimaksud dengan kejahatan Korporasi.
2. Sebab-sebab adanya kejahatan Korporasi.

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan kejahatan Korporasi.
2. Mengetahui sebab-sebab adanya kejahatan Korporasi.

D. Manfaat
Hasil penulisan makalah diharapkan bermanfaat bagi pengembangan pembelajaran Ilmu Kriminologi terkait Kejahatan Korporasi guna mengkaji lebih rinci tentang definisi kejahatan korporasi serta sebab-sebab munculnya kejahatan korporasi.         
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Konseptual
Korporasi sebagai suatu badan hukum hasil ciptaan hukum tentunya mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana halnya manusia. Tatanan yang diciptakan oleh hukum itu baru menjadi kenyataan apabila kepada subjek hukum diberi hak dan dibebani kewajiban. Ketika subjek hukum itu diberi hak maka iapun secara tidak langsung sudah dibebani oleh kewajiban atau sebaliknya, tidaklah mungkin adanya kewajiban bila subjek hukum tidak mempunyai haknya. Untuk mengetahui lebih jelas mengenai korporasi sebagai suatu badan hukum, ada baiknya menyimak beberapa pendapat di bawah ini :
Sudikno Mertokusumo, menjelaskan apa yang dimaksud dengan badan hukum adalah organisasi atau kelompok manusia yang mempunyai tujuan tertentu yang dapat menyandang hak dan kewajiban.
Setiawan,menjelaskan rechtspersoon adalah subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban sendiri,sekalipun bukan manusia pribadi.Ia mewujudkan dirinya dalam bentuk badan atau organisasi yang terdiri atas sekumpulan pribadi manusia yang bergabung untuk suatu tujuan tertentu serta memiliki kekayaan tertentu.
Subekti, menjelaskan pada pokoknya badan hukum, adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak melakukan perbuatan seperti seorang manusia, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau menggugat didepan hakim. Jadi rechtspersoon artinya orang yang dapat diciptakan oleh hukum.
Rudhi Prasetya, menjelaskan badan hukum adalah sebagai subjek hukum yang mempunyai harta kekayaan sendiri yang cakap melakukan perbuatan perdata dengan akibat dari perbuatannya itu hanya dipertanggungjawabkan sekedar terbatas sampai pada jumlah harta kekayaan yang ada.
Wirjono Prodjodikoro, menyatakan korporasi adalah perkumpulan orang, dalam korporasi biasanya yang mempunyai kepentingan adalah orang-orang yang merupakan anggota dari korporasi itu, anggota-anggota mana juga mempunyai kekkuasaan dalam peraturan korporasi berupa rapat anggota sebagai alat kekuasaan yang tertinggi dalam peraturan korporasi.
Jadi, dari beberapa pendapat diatas dapat ditarik pengertian secara umum bahwa korporasi sebagai badan hukum merupakan sekumpulan dari orang-orang yang membentuk suatu organisasi tertentu dengan tujuan tertentu, memiliki harta kekayaan, serta mempunyai hak dan kewajiban. Menurut David J. Rachman, ia mengatakan bahwa secara umum korporasi memiliki lima ciri penting, yaitu :
1. Merupakan subjek hukum buatan yang memiliki kedudukan hukum
    khusus.
2. Memiliki jangka waktu hidup yang tidak terbatas.
3. Memperoleh kekuasaan (dari negara) untuk melakukan kegiatan bisnis
    tertentu.
4. Dimiliki oleh pemegang saham.
5. Tanggung jawab pemegang saham terhadap kerugian korporasi
    biasanya sebatas saham yang dimilikinya.
Korporasi adalah “badan hukum atau gabungan beberapa perusahaan yang dikelola dan dijalankan sebagai satu perusahaan besar; kumpulan orang atau kekayaan yang terorganisasi, baik berupa badan hukum maupun bukan badan hukum”. Sedangkan dalam Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan dan Perdagangan korporasi diartikan sebagai :
Suatu kesatuan menurut atau suatu badan susila yang diciptakan menurut undang-undang sesuatu negara yang menjalankan suatu usaha atau aktifitas atau kegiatan lainnya yang sah. Badan ini dapat dibentuk untuk selama-lama atau untuk sesuatu jangka waktu terbatas, mempunyai nama dan identitas yang dengan nama dan identitas itu dapat dituntut di muka pengadilan, dan berhak akan mengadakan suatu persetujuan menurut kontrak dan akan melaksanakan semua fungsi lainnya yang seseorang dapat melaksanakannya menurut undang-undang suatu negara. Pada umumnya suatu corporation dapat merupakan suatu organisasi pemerintah, setengah pemerintah atau partikelir.
Untuk lebih jelas mengetahui korporasi sebagai subjek hukum dalam peraturan perundang-undangan, penulis mencoba memuatnya dalam bentuk table dibawah ini.
No
Undang-Undang (UU)
Penyebutan Subjek “Korporasi”
1
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2010 tentang Holtikultura
Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, yang berbadan hukum ataupun tidak berbadan hukum (Pasal 1 angka 25)
2
Undang-Undang Nomor 08 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak pidana Pencucian uang
Korporasi adalah sekumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum (Pasal 1 angka 10)
3
Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Korporasi adalah sekumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum (Pasal 1 angka 3)
4
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001
Korporasi adalah sekumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum (Pasal 1 angka 1)
5
Undang-Undang Nomor 06 tahun 1984 tentang Pos
Dilakukan oleh atau atas nama “badan hukum, perseroan, perserikatan orang lain, atau yayasan” (Pasal 19 ayat (3))
6
Undang-Undang Nomor 05 tahun 1984 tentang Perindustrian
Korporasi tidak disebut secara eksplisit, tetapi dalam Pasal 21 ayat (1) Jo. Pasal 1 angka 7 disebut subjek tindak pidana berupa “perusahaan industri”. Perusahaan industri adalah badan usaha yang melakukan kegiatan di bidang usaha industri.
7
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Hanya disebutkan setiap orang. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi (Pasal 1 angka 16)
8
Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi
Hanya disebutkan setiap orang. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum (Pasal 1 angka 3)
9
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Hanya disebutkan setiap orang. Setiap orang adalah orang perseorangan, baik warga negara Indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum (Pasal 1 angka 21)
Dilihat dari tabel di atas, masih ditemukannya penyebutan istilah korporasi yang bermacam-macam atau belum seragam. Penulisan istilah korporasi mulai terlihat pada tahun 1997 dalam UU Psikotropika. Hal ini dipengaruhi oleh Konsep KUHP (baru) 1991/1992 sebagai ius constituendum dalam Pasal 146 yang menyatakan korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan atau kekayaan, baik merupakan badan hukum atau bukan.
Menurut I Gede Widhiana Suarda, ia mengatakan korporasi dapat dijadikan subjek hukum pidana internasional dengan alas an :
1. Korporasi dapat dijadikan sarana untuk mencari keuntungan dan pada    
    akhirnya digunakan sebagai sumber dana suatu kejahatan
    internasional. Artinya, keuntungan suatu korporasi ditujukan untuk
    mendanai kejahatan internasional, seperti terorisme, kejahatan
    perang, genosida, dan sebagainya. Dalam hal ini, korporasi tersebut
    pada umumnya berstatus legal serta menjalankan usaha sebagaimana
    layaknya korporasi legal pada umumnya.
2. Selain digunakan sebagai sarana untuk mendanai kejahatan
    internasional, korporasi dapat dijadikan sebagai  tempat atau sarana
    untuk mencuci uang (money laundering) hasil-hasil kejahatan
    internasional, misalnya mencuci uang korupsi, perdagangan narkotika
    dan sebagainya. Artinya korporasi dapat didirikan secara legal serta
    melakukan kegiatan dengan legal pula, tetapi itu hanya sebagai kedok
    untuk mencuci uang dari hasil tindak pidana internasional yang
    dilakukannya.
3. Korporasi dapat menjadi pelaku tindak pidana internasional, baik
    secara langsung maupun tidak langsung. Sebagai contohnya adalah
    ketika terjadi pembantaian etnis (genosida) di Rwanda, ternyata ada
    beberapa korporasi, baik yang secara langsung maupun tidak langsung
    ikut berperan dalam mengobarkan semangat pembantaian tersebut.
    Dalam masa pembantaian tersebut beberapa media massa Rwanda
    telah ikut mamainkan peran penting “memuluskan” kejahatan yang
    dilakukan.karena itu, wajar apabila korporasi dapat dijadikan sebagai
    subjek hukum pidana internasional.
4. Perkembangan dalam teori hukum (dan hukum pidana khususnya)
    telah menempatkan korporasi sebagai subjek hukum sebagaimana
    manusia atau individu. Hampir semua negara di dunia telah
    menempatkan korporasi juga sebagai subjek hukum dalam sistem
    hukum pidananya, termasuk Indonesia. Memang pada awal
    kemunculan fenomena korporasi sebagai subjek hukum pidana telah
    ditentang dan dikritik banyak orang. Namun demikian saat ini,
    keberadaan korporasi sebagai pelaku tindak pidana atau sebagai
    subjek hukum pidana sudah tidak terbantahkan lagi.
5. Dari sisi praktik penegakan hukum pidana internasional telah
    menunjukan bahwa suatu organisasi pernah ditetapkan oleh
    Mahkamah Internasional (Mahkamah Nuremberg) sebagai organisasi
    yang terlarang. Mahkamah Nuremberg telah menetapkan 6 organisasi
    yang terlibat dalam Perang Dunia II sebagai organisasi kejahatan dan
    menbebaskan 2 organisasi dari tuduhan. Dalam konteks ini
    keterlibatan suatu organisasi dapat saja mengarah pada suatu
    korporasi. Apabila mengacu pada doktrin dalam hukum pidana tentang
    ruang lingkup korporasi, yang menetapkan ruang lingkup korporasi
    dalam arti luas : korporasi adalah kumpulan baik yang berbadan
    hukum maupun yang tidak berbadan hukum, maka suatu organisasi
    (sekalipun tidak berbadan hukum) dapat saja dikualifikasikan sebagai
    suatu korporasi yang terlibat dalam suatu kejahatan internasional.   
    Oleh karena itu, organisasi atau korporasi tersebut semestinya dapat
    dijadikan subjek hukum internasional sekaligus dipidana atas dasar
    hukum pidana internasional.

B. Kerangka Teoritis
Korporasi ada karena keberadaanya memang diperlukan. Ada beberapa terori yang mencoba menjelaskan mengapa korporasi perlu ada. Terdapat dua aliran utama yang menjelaskan mengapa korporasi perlu ada yakni pertama, penjelasan yang lebih bertumpu pada pendekatan kontraktual yang terdiri dari tiga teori, yaitu teori neo institusi biaya transaksi (transaction cost theory), teori agensi (agency theory), dan teori kontrak yang tidak lengkap (incomplete contract). Kedua, pendekatan yang berbasis pada teori kompetensi. Pada dasarnya, pendekatan kompetensi menjadi alternatif dari pendekatan kontraktual yang menjadi pendekatan utama dalam analisis organisasi. Dengan kata lain, pendekatan berbasis kompetensi bersifat heterodoks, sementara pendekatan kontraktual lebih bersifat ortodok.
Dasar kesalahan perusahaan yang dapat diindikasikan sebagai kejahatan korporasi dapat terlihat dari kelalaian, keserampangan, kelicikan dan kesengajaan atas segala tindakan korporasi. Untuk lebih mendalami lagi, Agus Budianto mengatakan bahwa terdapat dua model mengenai kejahatan korporasi. “Pertama, kejahatan yang dilakukan oleh orang yang bekerja atau yang berhubungan dengan suatu perusahaan yang dipersalahkan; dan Kedua, perusaan sendiri yang melakukan tindakan kejahatan melalui karyawan-karyawannya”. Bila seorang yang cukup berkuasa dalam struktur korporasi, atau dapat mewakilkan korporasi melakukan suatu kejahatan, maka perbuatan dan niat orang itu dapat dihubungkan dengan korporasi. Korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban secara langsung. Namun, korporasi tidak dapat dipersalahkan atas suatu kejahatan yang dilakukan oleh seorang yang berada di level yang rendah dalam hirarki korporasi tersebut.
Dalam usaha meminta pertanggungjawaban pidana korporasi, telah melahirkan sejumlah konsep yang menguraikan perkembangan pemikiran tentang pertanggungjawaban subjek hukum korporasi dengan pembagian pentahapan sebagaimana yang dikemukakan oleh D. Schaffmeister: tahap pertama ditandai dengan adanya usaha-usaha agar perbuatan pidana yang dilakukan badan hukum, dibatasi pada perorangan (natuurlijk persoon); tahap kedua yaitu pada periode setelah perang dunia kedua yang ditandai dengan pengakuan bahwa suatu perbuatan pidana dapat dilakukan oleh korporasi; dan tahap tiga terjadi pada masa setelah perang dunia kedua, dimana tanggung jawab pidana langsung dapat dimintakan kepada korporasi.
Selain itu, menurut C.M.V. Clarkson ia mengatakan bahwa masih terdapat tujuh konsep yang merupakan perkembangan dari diskursus doktrin-doktrin mengenai tanggung jawab pidana korporasi. Tujuh konsep tersebut adalah “identification doctrine, aggregation doctrine, reactive corporate fault, vicarious liability, management failure model, corporate mens rea doctrine, dan specific corporate offences”. Barda Nawawi Arief, dalam bukunya yang berjudul “Sari Kuliah Perbandingan Hukum” hanya menyebutkan empat teori-teori pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu “doktrin pertanggung-jawaban pidana langsung (direct liability doctrine) atau teori Identifikasi (identification theory), doktrin pertanggungjawaban pidana pengganti (vicarious liability), doktrin pertanggungjawaban pidana yang ketat menurut undang-undang (strict liability), dan doktrin/teori budaya korporasi (company culture theory)”.
Menurut identification doctrine, bila seorang yang cukup senior dalam struktur korporasi atau dapat mewakili korporasi melakukan suatu kejahatan dalam bidang jabatannya, maka perbuatan dan niat orang itu dapat dihubungkan dengan korporasi. Korporasi dapat diidentifikasi dengan perbuatan ini dan dimintai pertanggungjawaban secara langsung. Dalam kasus semacam ini akan selalu mungkin untuk menuntut keduanya, yaitu korporasi dan individu. Namun, suatu korporasi tidak dapat diidentifikasi atas suatu kejahatan yang dilakukan oleh seorang yang berada di level rendah dalam hirarki korporasi itu. Perbuatannya bukan perbuatan korporasi, dan oleh karena itu korporasi tidak bertanggung jawab. Dalam kasus semacam ini tuntutan hanya dapat dilakukan terhadap individu tersebut dan korporasi tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya. Dengan kata lain, perbuatan atau kesalahan oleh pejabat senior diidentifikasi sebagai perbuatan atau kesalahan korporasi karena pejabat senior diibaratkan otaknya sebuah korporasi yang bisa mengendalikan perusahaan, baik sendiri maupun bersama-sama. Teori semacam ini menarik untuk mereka yang menyatakan bahwa korporasi  tidak dapat berbuat atau melakukan sesuatu kecuali melalui manusia yang mewakili mereka. Namun, terdapat keberatan yang cukup signifikan atas identification doctrine ini, khususnya berkaitan dengan korporasi-korporasi besar dimana kemungkinannya sangat kecil seorang senior melakukan perbuatan secara langsung atas suatu tindakan pidana dengan disertai mens rea.
Dalam hal tindak pidana yang menyebabkan orang mati atau luka berat, sangat kecil kemungkinan seorang pegawai senior akan secara langsung tangannya berlumuran dengan darah. Pada korporasi dengan struktur organisasi yang sangat besar dan kompleks, hampir mustahil bagi pihak luar untuk menembus dinding korporasi guna memastikan individu-individu yang sesungguhnya melakukan kejahatan. Sejumlah uang, waktu dan keahlian yang dilibatkan dalam investigasi semacam ini bisa jadi tidak sebanding dengan kesalahan yang dilakukan, dan dalam peristiwa tertentu, bisa jadi tidak membuahkan hasil bila korporasi memutuskan untuk menebarkan asap kabut di sekitar daerah operasional internalnya. Lebih penting lagi, meskipun penyelidikan dilakukan secara layak, seringkali terungkap bahwa kesalahan tidak terletak pada individu tertentu tetapi lebih pada korporasi itu sendiri.
Aggregation doctrine merupakan sebuah alternatif dasar pembentukan tanggung jawab pidana untuk mengatasi sejumlah permasalahan yang muncul dalam identification doctrine. Menurut pendekatan ini, tindak pidana tidak bisa hanya diketahui atau dilakukan oleh satu orang. Oleh karena itu, perlu mengumpulkan semua tindakan dan niat dari beragam orang yang relevan dalam korporasi tersebut, untuk memastikan secara keseluruhannya tindakan mereka akan merupakan suatu kejahatan atau senilai dengan apabila perbuatan dan niat itu dilakukan oleh satu orang. Doktrin ini mengambil keuntungan dari pengakuan bahwa dalam banyak kasus tidak mungkin memisahkan seseorang yang telah melakukan kejahatan dengan niat dan doktrin ini juga dapat mencegah korporasi dari mengubur tanggung jawabnya dalam-dalam di dalam struktur korporasi.
Namun, pada struktur korporasi yang besar dan kompleks, justru doktrin ini tidak efektif dalam hal pencegahan. Sebab doktrin ini gagal memberikan peringatan lebih lanjut kepada korporasi mengenai apa yang diharapkan akan dilakukan oleh korporasi agar mereka tidak terkena resiko tanggung jawab pidana. Doktrin ini bukan menemukan seseorang yang pada korporasi diidentifikasi, malah menemukannya pada beberapa orang. Doktrin ini mengabaikan kenyataan bahwa esensi yang sebenarnya dari kesalahan mungkin bukan yang dilakukan oleh orang orang-orang melainkan fakta bahwa korporasi tidak memiliki struktur organisasi atau kebijakan untuk mencegah orang-orang melakukan apa yang mereka kerjakan yang secara kumultatif menjadi suatu tindak pidana.
Reactive corporate fault merupakan suatu pendekatan berbeda tentang tanggung jawab pidana korporasi sebagaimana yang diusulkan oleh Brent Fisse dan Braithwaite. Mereka mengemukakan bahwa suatu perbuatan yang merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh atau atas nama sebuah korporasi, pengadilan harus diberi kewenangan untuk memerintahkan korporasi untuk melakukan investigasi sendiri guna memastikan orang yang bertanggung jawab dan mengambil suatu tindakan disiplin yang sesuai atas kesalahan orang tersebut dan mengambil langkah-langkah perbaikan untuk menjamin kesalahan tersebut tidak terulang kembali.
Apabila korporasi mengambil langkah penanganan yang tepat, maka tidak ada tanggung jawab pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi. Tanggung jawab pidana hanya bisa diterapkan pada korporasi apabila korporasi gagal memenuhi perintah pengadilan dengan sungguh-sungguh. Dengan demikian, kesalahan korporasi bukanlah kesalahan pada saat kejadian terjadi tetapi kesalahan karena korporasi gagal melakukan tindakan yang tepat atas kesalahan yang dilakukan oleh pekerjanya. Pendekatan ini memiliki kelebihan yaitu mewajibkan korporasi itu sendiri melakukan penyelidikan yang sesuai, bukannya aparatur negara yang melakukannya. Hal ini tidak hanya akan menghemat waktu dan uang publik, tetapi seringkali  korporasi ini sendiri memiliki kemampuan terbaik untuk memahami dan menembus struktur organisasinya yang kompleks. Ini juga merupakan satu pendekatan yang mengakui bahwa satu dari tujuan dari utama tanggung jawab pidana korporasi adalah untuk memastikan bahwa korporasi memperbaiki kebijakan-kebijakan dan praktek-praktek mereka yang kurang baik, sehingga mencegah kesalahan tersebut terulang.
Vicarious liability merupakan cara yang sangat umum dalam meminta korporasi bertanggung jawab secara pidana dan doktrin ini sering digunakan oleh negara Amerika Serikat.  Menurut doktrin ini, bila seorang agen atau pekerja korporasi, bertindak dalam lingkup pekerjaanya dan dengan maksud untuk menguntungkan korporasi, melakukan suatu kejahatan, tanggung jawab pidananya dapat dibebankan kepada perusahaan. Tidak masalah perusahaan tersebut secara nyata memperoleh keuntungan atau tidak. Atau satu korporasi dapat dinyatakan telah menyerahkan kekuasaan untuk bertindak di dalam bidangnya masing-masing kepada seluruh staf-nya dan berdasarkan itu, korporasi harus dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan jahat mereka. Ini yang juga dijadikan alasan bahwa pencegahan yang optimal dapat tercapai dengan menerapkan vicarious liability pada korporasi tersebut.
Seiring dengan itu Peter Gillies membuat beberapa proposisi yaitu suatu perusahaan (sepertinya halnya dengan manusia sebagai pelaku/ pengusaha) dapat bertanggung jawab secara mengganti untuk perbuatan yang dilakukan oleh karyawan/agennya. Pertanggungjawaban demikian hanya timbul untuk delik yang mampu dilakukan secara vicarious. Dan kedudukan majikan atau agen dalam ruang lingkup pekerjaanya tidaklah relevan menurut doktrin ini. Tidaklah penting bahwa majikan, baik sebagai korporasi maupun secara alami, tidak telah mengarahkan atau memberi petunjuk/perintah pada karyawan untuk melakukan pelanggaran hukum pidana. (bahkan dalam beberapa kasus, vicarious liability dikenakan terhadap majikan walaupun karyawan melakukan perbuatan bertentangan dengan instruksi, berdasarkan alasan perbuatan karyawan dipandang sebagai telah melakukan perbuatan itu dalam ruang lingkup pekerjaanya). Oleh karena itu, apabila perusahaan terlibat, pertanggungjawabannya muncul sekalipun perbuatan itu dilakukan tanpa menunjuk pada orang senior di dalam perusahaan.
Management failure model merupakan doktrin yang lebih menitikberatkan kesalahan pada korporasi bukan merupakan kesalahan korporasi seutuhnya, melainkan kesalahan tersebut karena adanya kesalahan menajemen. Misalnya, kejahatan pembunuhan tanpa rencana yang dilakukan korporasi karena ada kesalahan menejemen oleh korporasi yang menyebabkan seseorang meninggal dunia dan kegagalan tersebut merupakan perilaku yang secara rasional berada jauh dari yang diharapkan dilakukan oleh suatu korporasi. Kejahatan ini dibuat tanpa mengacu ke konsep mens rea dalam rangka memastikan perbedaan sifat perbuatan salah oleh korporasi. Dari pandangan tersebut kelihatannya konsep ini tidak lebih dari perluasan identification doctrine daripada melihat kegagalan dari pihak individu atau kelompok individu yang menduduki posisi tinggi, maka yang dilihat adalah kegagalan menajemennya.
Corporate mens rea doctrine, pada dasarnya korporasi tidak dapat melakukan perbuatan jahat. Hanya orang-orang yang ada dalam perusahaan tersebut mampu melakukan perbuatan jahat. Ide dasar doktrin ini ada karena seluruh doktrin yang lainnya telah mengabaikan realitas kompleksnya organisasi korporasi dan dinamika proses secara organisasional, struktur, tujuan, kebudayaan hirarki yang dapat bersenyawa dan berkontribusi untuk suatu etos yang mengizinkan atau bahkan mendorong dilakukannya sebuah kejahatan. Berdasarkan pandangan ini, maka korporasi dapat diyakini sebagai agen yang melakukan kesalahan yang bertindak melalui staf mereka dan pekerja, dan mens reanya dapat ditemukan dalam praktek dan kebijakan korporasi.
Poin penting dari pendekatan ini adalah bukan tentang apakah individu di dalam perusahaan telah dapat memperkirakan kerugian yang akan terjadi, tetapi apakah dalam struktur korporasi yang benar dan terorganisasi dengan baik resiko-resiko yang telah nyata. Untuk individu tidak ada pengakuan, maksud dan perkiraan dapat disimpulkan dari tindakan obyektif. Ini hanya dapat dilakukan berdasarkan pada apa yang akan dapat diduga oleh seseorang yang normal, kecuali kehendak tersebut dalam beberapa hal berbeda dengan orang yang normal.
Specific corporate offences, mengenai hal ini Komisi Hukum Inggris telah mengusulkan akan satu kejahatan baru yaitu pembunuhan oleh korporasi “corporate killing” telah diperkenalkan dalam hukum Inggris. Kejahatan ini akan merupakan suatu yang terpisah dari perilaku yang menyebabkan matinya orang atau orang-orang lain karena kelalaian pelaku yang hanya dapat dilakukan oleh korporasi. Dalam hal ini, masalah-masalah yang berkaitan dengan penegasan tentang kesalahan korporasi, seperti pembuktian dari niat atau kesembronoan, dapat diatasi dengan membuat definisi khusus yang hanya dapat diterapkan kepada korporasi.
Strict liability merupakan pertanggungjawaban pidana korporasi yang dapat semata-mata berdasarkan undang-undang, yaitu dalam hal korporasi tidak memenuhi kewajiban/kondisi/situasi tertentu yang ditentukan oleh undang-undang. Pelanggaran kewajiban/kondisi/situasi tertentu oleh korporasi ini dikenal dengan istilah “strict liability offence”. Sedangkan Doktrin/teori budaya korporasi (company culture theory), menurut doktrin/teori ini, korporasi dapat dipertanggungjawabkan dilihat dari prosedur, sistem bekerjanya, atau budayanya. Oleh karena itu teori budaya ini, sering juga disebut teori model/sistem atau model organisasi (organizational or system model). Kesalahan korporasi didasarkan pada “internal decision-making struktur”.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Kejahatan Korporasi
1. Pengertian Kejahatan Korporasi
Kejahatan diartikan sebagai suatu perbuataan yang oleh masyarakat dipandang sebagai kegiatan yang tercela, dan terhadap pelakunya dikenakan hukuman (pidana). Sedangkan korporasi adalah suatu badan hukum yang diciptakan oleh hukum itu sendiri dan mempunyai hak dan kewajiban. Jadi, kejahatan korporasi adalah kejahatan yang dilakukan oleh badan hukum yang dapat dikenakan sanksi. Dalam literature sering dikatakan bahwa kejahatan korporasi ini merupakan salah satu bentuk White Collar Crime.Dalam arti luas kejahatn korporasi ini sering rancu dengan tindak pidana okupasi, sebab kombinasi antara keduanya sering terjadi.
Menurut Marshaal B. Clinard dan Peter C Yeager sebagaimana dikutip oleh Setiyono dikatakan bahwa setiap tindakan yang dilakukan oleh korporasi yang bias diberi hukuman oleh Negara, entah di bawah hukum administrasi Negara, hokum perdata maupun hukum pidana.
Menurut Marshaal B. Clinard kejahatan korporasi adalah merupakan kejahatan kerah putih namun ia tampil dalam bentuk yang lebih spesifik. Ia lebih mendekati kedalam bentuk kejahatan terorganisir dalam konteks hubungan yang lebih kompleks dan mendalam antara seorang pimpinan eksekutif, manager dalam suatu tangan. Ia juga dapat berbentuk korporasi yang merupakan perusahaan keluarga, namun semuanya masih dalam rangkain bentuk kejahatan kerah putih.
Menurut Sutherland kejahatan kerah putih adalah sebuah perilaku keriminal atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang dari kelompok yang memiliki keadaan sosio- ekonomi yang tinggi dan dilakukan berkaitan dengan aktifitas pekerjaannya.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kejahatan korporasi pada umumnya dilakukan oleh orang dengan status social yang tinggi dengan memanfaatkan kesempatan dan jabatan tertentu yang dimilikinya. Dengan kadar keahlian yang tinggi dibidang bisnis untuk mendapatkan keuntungan dibidang ekonomi.
2. Karakteristik Kejahatan Korporasi
    Salah satu hal yang membedakan antara kejahatan korporasi dengan
    kejahatan konvensional atau tradisional pada umumnya terletak pada
    karakteristik yang melekat pada kejahatan korporasi itu sendiri, antara
    lain :
1. Kejahatan tersebut sulit terlihat ( Low visibility ), karena biasanya
    tertutup oleh kegiatan pekerjaan yang rutin dan normal, melibatkan
    keahlian professional dan system organisasi yang kompleks.
2. Kejahatan tersebut sangat kompleks ( complexity ) karena selalu
    berkaitan dengan kebohongan, penipuan, dan pencurian serta sering
    kali berkaitan dengan sebuah ilmiah, tekhnologi, financial, legal,
    terorganisasikan, dan melibatkan banyak orang serta berjalan
    bertahun–tahun.
3. Terjadinya penyebaran tanggung jawab ( diffusion of responsibility )
    yang semakin luas akibat kompleksitas organisasi.
4. Penyebaran korban yang sangat luas (diffusion of victimization )
    seperti polusi dan penipuan.
5. Hambatan dalam pendeteksian dan penuntutan ( detection and  
    prosecution ) sebagai akibat profesionalisme yang tidak seimbang
    antara aparat penegak hukum dengan pelaku kejahatan.
6. Peraturan yang tidak jelas (ambiguitas law ) yang sering menimbulkan
    kerugian dalam penegakan hukum.
7. Sikap mendua status pelaku tindak pidana. Harus diakui bahwa pelaku
    tindak pidana pada umumnya tidak melanggar peraturan perundang –
    undangan tetapi memang perbuatan tersebut illegal.

B. Sebab-sebab Adanya Kejahatan Korporasi
Keinginan korporasi untuk terus meningkatkan keuntungan yang diperolehnya mengakibatkan terjadinya tindakan pelanggaran hukum. Korporasi, sebagai suatu badan hukum, memiliki kekuasaan yang besar dalam menjalankan aktivitasnya sehingga sering melakukan aktivitas yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku, bahkan selalu merugikan berbagai pihak. Walaupun demikian, banyak korporasi yang lolos dari kejaran hokum sehingga tindakan kejahatan korporasi semakin meluas dan tidak dapat dikendalikan. Dengan mudahnya korporasi menghilangkan bukti-bukti atas segala kejahatannya terhadap masyarakat. Sementara itu, tuntutan hukum terhadap perilaku buruk korporasi tersebut selalu terabaikan karena tidak ada ketegasan dalam menghadapi masalah ini.             
Pemerintah dan aparat hukum harus mengambil tindakan yang tegas mengenai kejahatan korporasi karena baik disengaja maupun tidak, kejahatan korporasi selalu memberikan dampak yang luas bagi masyarakat dan lingkungan, bahkan dapat mengacaukan perekonomian negara. Jika hukuman dan sanksi yang dijatuhkan kepada korporasi tidak memiliki keberartian, perilaku buruk korporasi dengan melakukan aktivitas yang illegal tidak akan berubah. Korporasi diharapkan tidak lagi melarikan diri dari tanggung jawabnya, dalam hal ini tanggung jawab pidana. Terutama, korporasi akan dibebani oleh lebih banyak tanggung jawab moral dan sosial untuk memperhatikan keadaan dan keamanan lingkungan kerjanya, termasuk penduduk, budaya, dan lingkungan hidup.
Menurut Gobert dan Punch, hal paling utama untuk mencegah terjadinya kejahatan korporasi adalah dengan adanya pengendalian diri dan tanggung jawab sosial dan moral terhadap lingkungan dan masyarakat di mana tanggung jawab tersebut berasal dari korporasi itu sendiri maupun individu-individu di dalamnya.
Kejahatan korporasi yang lazimnya berbentuk dalam kejahatan kerah putih (white-collar crime), biasanya dilakukan oleh suatu perusahaan atau badan hukum yang bergerak dalam bidang bisnis dengan berbagai tindakan yang melanggar hukum pidana. Berdasarkan pengalaman dari beberapa negara maju dapat dikemukakan bahwa identifikasi kejahatan-kejahatan korporasi dapat mencakup tindak pidana seperti pelanggaran undang-undang anti monopoli, penipuan melalui komputer, pembayaran pajak dan cukai, pelanggaran ketentuan harga, produksi barang yang membahayakan kesehatan, korupsi, penyuapan, pelanggaran administrasi, perburuhan, dan pencemaran lingkungan hidup.
Kejahatan korporasi tidak hanya dilakukan oleh satu korporasi saja, tetapi dapat dilakukan oelh dua atau lebih korporasi secara bersama-sama. Apabila perbuatan yang dilakukan korporasi, dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan di bidang hukum pidana yang merumuskan korporasi sebagai subjek tindak pidana, maka korporasi tersebut jelas dapat dipidana. Bercermin dari bentuk-bentuk tindak pidana di bidang ekonomi yang dilakukan oleh korporasi dalam menjalankan aktivitas bisnis, jika dikaitkan dengan proses pembangunan, maka kita dihadapkan kepada suatu konsekuensi meningkatnya tindak pidana korporasi yang mengancam dan membahayakan berbagai segi kehidupan di masyarakat.
Korporasi, sebagai subjek tindak pidana, dapat dimintai pertanggung jawaban atas tindakan pidana, jika tindakan pidana tersebut dilakukan oleh atau untuk korporasi maka hukuman dan sanksi dapat dijatuhkan kepada korporasi dan atau individu di dalamnya. Namun demikian perlu diadakan indentifikasi pada individu korporasi misalnya pada direktur, manajer dan karyawan agar tidak terjadi kesalahan dalam penjatuhan hukuman secara individual. Tidak bekerjanya hukum dengan efektif untuk menjerat kejahatan korporasi, selain karena keberadaan suatu korporasi dianggap penting dalam menunjang pertumbuhan atau stabilitas perekonomian nasional, sering kali juga disebabkan oleh perbedaan pandangan dalam melihat kejahatan yang dilakukan oleh korporasi.
Kejahatan yang dilakukan oleh korporasi lebih dianggap merupakan kesalahan yang hanya bersifat administratif daripada suatu kejahatan yang serius. Sebagian besar masyarakat belum dapat memandang kejahatan korporasi sebagai kejahatan yang nyata walaupun akibat dari kejahatan korporasi lebih merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat dibandingkan dengan kejahatan jalanan.
Akibat dari suatu kejahatan yang dilakukan oleh korporasi lebih membahayakan dibandingkan dengan kejaharan yang diperbuat seseorang. Dasar kesalahan perusahaan yang dapat diindikasikan sebagai kejahatan korporasi, terlihat dalam kelalaian, keserampangan, kelicikan, dan kesengajaan atas segala tindakan korporasi. Setiap suatu korporasi dimintai pertangungjawabannya oleh aparat penegak hukum, selalu ada berbagai tekanan baik dari korporasi maupun pemerintah yang akhirnya menghilangkan tuntutan hukum korporasi. Aparat penegak hukum seringkali gagal dalam mengambil tindakan tegas terhadap berbagai kejahatan yang dilakukan oleh korporasi. Hal ini sangat mengkhawatirkan, karena dampak kejahatan yang ditimbulkan oleh korporasi sangat besar. Korbannya bisa berjumlah puluhan, ratusan, bahkan ribuan orang. Contohnya, terbaliknya kapal the Herald of Free Enterprise yang memakan korban ratusan orang. Selain itu korporasi, dengan kekuatan finansial serta para ahli yang dimiliki, dapat menghilangkan bukti-bukti kejahatan yang dilakukan. Bahkan, dengan dana yang dimiliki, korporasi dapat pula mempengaruhi opini serta wacana di masyarakat, sehingga seolah-olah mereka tidak melakukan suatu kejahatan. Salah satu penyebab utama gagalnya penuntutan dalam suatu perkara yang terdakwanya korporasi adalah karena korporasi tersebut tidak memiliki direktur yang bertanggung jawab atas keselamatan dan tidak memiliki kebijakan yang jelas yang mengatur mengenai keselamatan. Kurangnya koordinasi structural dalam sebuah organisasi dianggap sebagai penyebab terjadinya kejahatan korporasi.
Misalnya pada kasus terbaliknya kapal the Herald of Free Enterprise. Penyebab nyata terbaliknya kapal yang menyebabkan kematian sekitar 200 nyawa ini adalah lemahnya koordinasi di antara para pekerja sebagai akibat tidak adanya kebijakan-kebijakan tentang keselamatan. Laporan mengenai investigasi terbaliknya kapal tersebut menyatakan bahwa tidak ada keraguan kesalahan sebenarnya terletak pada korporasi itu sendiri karena tidak memiliki kebijakankebijakan mengenai keselamatan dan gagal untuk memberikan petunjuk keselamatan yang jelas. Kasus ini terutama disebabkan oleh kecerobohan.                 
Hukuman atas segala kejahatan korporasi adalah sebuah persoalan politis. Yang terjadi dalam peristiwa politis adalah tawar-menawar yang mencari keseimbangan antara hak dan kewajiban warga negara. Dalam hitungan hak dan kewajiban, korporasi dibolehkan menikmati hak-hak yang sangat luas dan menciutkan kewajiban-kewajiban mereka. Kerugian akibat kejahatan korporasi sering sulit dihitung karena akibat yang ditimbulkannya berlipat-lipat, sementara hukuman atau denda pengadilan acap kali tidak mencerminkan tingkat kejahatan mereka Perusahaan memiliki kekuatan untuk menentukan kebijakan melalui direktur dan para eksekutif dan perusahaan seharusnya bertanggung jawab atas akibat dari kebijakan mereka. Namun perusahaan – tidak seperti manusia – tidak dibebani oleh berbagai emosi dan perasaan sehingga dengan mudahnya dapat menutupi perilaku buruknya.
Terdapat dua model kejahatan korporasi; pertama, kejahatan yang dilakukan oleh orang yang bekerja atau yang berhubungan dengan suatu perusahaan yang dipersalahkan; dan kedua, perusahaan sendiri yang melakukan tindakan kejahatan melalui karyawan-karyawannya. Kejahatan yang terjadi dalam konteks bisnis dilatar belakangi oleh berbagai sebab. Human error yang dipadukan dengan kebijakan yang sesat dan kekeliruan dalam pengambilan keputusan merangsang terjadinya tindakan pelanggaran hukum. Pada pendekatan di Amerika mengenai vicarious liability menyatakan bahwa bila seorang pegawai korporasi atau agen yang berhubungan dengan korporasi, bertindak dalam lingkup pekerjaannya dan dengan maksud untuk  menguntungkan korporasi dengan melakukan suatu kejahatan, tanggung jawab pidananya dapat dibebankan kepada perusahaan. Tidak peduli apakah perusahaan secara nyata memperoleh keuntungan atau tidak atau apakah perusahaan telah melarang aktivitas tersebut atau tidak. Sedangkan di Inggris, various liability terbatas pada tanggung jawab perusahaan terhadap kejahatan korporasi yang dilakukan oleh seorang yang memiliki kekuasaan yang tinggi (identification).
Teori ini menyatakan bahwa korporasi tidak dapat melakukan sesuatu kecuali melalui seorang yang dapat mewakilinya. Bila seorang yang cukup berkuasa dalam struktur korporasi, atau dapat mewakili korporasi melakukan suatu kejahatan, maka perbuatan dan niat orang itu dapat dihubungkan dengan korporasi. Korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban secara langsung. Namun, suatu korporasi tidak dapat disalahkan atas suatu kejahatan yang dilakukan oleh seorang yang berada di level yang rendah dalam hirarki korporasi tersebut. Komisi Hukum Inggris telah mengusulkan bahwa terdapat satu kejahatan baru, yaitu pembunuhan oleh korporasi “corporate killing”. Kejahatan ini merupakan suatu species terpisah dari manslaugter yang hanya dapat dilakukan oleh korporasi. Dalam hal ini, masalah-masalah yang berkaitan dengan penegasan tentang kesalahan korporasi, seperti pembuktian dari niat atau kesembronoan, dapat diatasi dengan membuat definisi khusus yang hanya dapat diterapkan kepada korporasi.              
Pada era globalisasi ini, perkembangan perusahaan multinasional sangat pesat, bahkan perusahaan tersebut mampu menempatkan diri pada posisi yang sangat strategis untuk memperoleh perlindungan hukum sehingga peradilan dalam negeri sulit untuk mengajukan tuntutan terhadap tindakan mereka yang merugikan. Agar kelemahan perangkat hukum tidak terulang lagi, perlu dibuat aturan pertanggung jawaban korporasi yang komprehensif dan mencakup semua kejahatan. Namun, pada pengadilan atas tindakan kriminalirtas korporasi, keputusan mengenai hukuman dan sanksi, selalu menjadi hal terakhir untuk diputuskan. Setiap tuntuan yang terjadi atas kejahatan korporasi selalu dipersulit sehingga sering tidak dapat direalisasikan. Dengan demikian dapat terlihat bahwa hukum pun masih tidak dapat diandalkan untuk menindak lanjuti masalah kejahatan korporasi. Suatu tindakan kejahatan, terjadi karena korporasi tersebut mendapatkan keuntungan dari tindakan kejahatan yang dilakukannya. Oleh karena itu, agar dapat menghapuskan tindakan kejahatan korporasi, dapat dilakukan dengan mengambil keuntungan yang diperolehnya atas tindakan kriminalitas tersebut. Misalnya dengan membebankan korporasi suatu denda yang lebih besar dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh. Jika tindakan kriminalitas tidak lagi mengutungkan korporasi, maka ia tidak akan terlibat kembali dalam suatu tindakan kriminal.
Namun dalam prakteknya, denda hukum yang dijatuhkan kepada korporasi sekedar dihitung sebagai biaya produksi tanpa sepeserpun mengurangi keuntungan korporasi. Walaupun mengurangi keuntungan, praktek illegal korporasi masih dapat terus berlanjut. Dengan kata lain, denda yang dikenakan kepada korporasi hanya mengubah tindakan kejahatan korporasi dari kesalahan terhadap masyarakat menjadi biaya dalam kegiatan bisnis Publisitas atas keburukan korporasi juga dapat dilakukan sebagai sanksi atas kejahatan korporasi. Namun sayangnya, hal tersebut membawa dampak yang tidak diinginkan. Jika terjadi pemboikotan dari seluruh konsumen terhadap semua produk korporasi, maka secara pidana, pengadilan berhasil mengadili korporasi tersebut.
Tetapi jika korporasi mengalami kerugiam yang besar, maka korporasi akan mengurangi jumlah karyawannya sehingga akan banyak pekerja yang kehilangan pekerjaannya. Beraneka ragam sanksi yang dikenakan kepada korporasi seperti melalui denda, kompensasi dan ganti rugi, kerja sosial, pengenaan perbaikan, publisitas keburukan, dan orientasi pengendalian, tidak dapat menghentikan tindakan kejahatan yang dilakukan korporasi. Korporasi dapat lolos dari sanksi-sanksi tersebut dengan mengorbankan pegawai mereka. Sebagaimana vicarious liability dan identification, kejahatan yang dilakukan korporasi juga merupakan tanggung jawab individu-individu di dalammnya. Demikian juga, korporasi bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukan oleh individu-individunya.
Jika suatu korporasi dikenai suatu hukuman atas kejahatan, kepada siapa hukuman tersebut akan dikenakan? Jawaban yang masuk akal adalah direktur perusahaan. Menurut ‘identification’, tanggung jawab perusahaan sering didasarkan atas kejahatan yang dilakukan direktur atau para eksekutifnya. Sayangnya, hal itu akan terlihat sangat tidak adil bagi direktur yang selalu menjalankan bisnisnya sesuai dengan hukum yang berlaku. Oleh karena itu diperlukan adanya keseimbangan tanggung jawab terhadap kejahatan korporasi dari direktur, eksekutif, manajer, dan karyawan. Setiap individu harus bertanggung jawab baik secara moral maupun hukum atas keputusan dan tindakan mereka. Jika seseorang melakukan tindakan kejahatna melalui perusahaan, maka tuntutan hukum seharusnya dikenakan terhadap orang tersebut, bukan terhadap perusahaan, terutama jika tindakan kejahatan tersebut tidak memberikan keuntungan terhadap perusahaan. Perusahaan bertindak melalui individu tetapi individu juga bertindak melalui perusahaan. Oleh karena itu, tanggung jawab atas suatu tindakan kejahatan yang dilakuakan individu seharusnya tidak dilimpahkan kepada perusahaan. Begitu juga sebaliknya.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kejahatan korporasi adalah merupakan kejahatan yang besar dan sangat berbahaya sekaligus merugikan kehidupan masyarakat, kendatipun di pihak lain ia juga memberi kemanfaatan bagi kehidupan masyarakat dan negara. Keinginan korporasi untuk terus meningkatkan keuntungan yang diperolehnya mengakibatkan terjadinya tindakan pelanggaran hukum. Korporasi, sebagai suatu badan hukum, memiliki kekuasaan yang besar dalam menjalankan aktivitasnya sehingga sering melakukan aktivitas yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku, bahkan selalu merugikan berbagai pihak. Dikatakan “besar”, oleh karena kompleksnya komponen-komponen yang bekerja dalam satu kesatuan korporasi, sehingga metode pendekatan yang dilakukan terhadap korporasi tidak bisa lagi dengan menggunakan metode pendekatan tradisional yang selama ini berlaku dan dikenal dengan metode pendekatan terhadap kejahatan konvensional, melainkan harus disesuaikan dengan kecanggihan dari korporasi itu sendiri, demikian pula dengan masalah yang berkenaan dengan konstruksi yuridisnya juga harus bergeser dari asas-asas yang tradisional kearah yang lebih dapat menampung bagi kepentingan masyarakat luas, yaitu dalam rangka memberikan perlindungan terhadap masyarakat.
Kejahatan terorganisir, yang dalam literatur mendapat tempat dalam klasifikasi tersendiri, tapi sebenarnya dalam pengertian yang lebih luas adalah merupakan bagian dari kejahatan korporasi, korporasi adalah suatu organisasi, suatu bentuk organisasi dengan tujuan tertentu yang bergerak dalam bidang ekonomi atau bisnis, maka kita harus melihat kejahatan korporasi sebagai kejahatan yang bersifat organisatoris, yaitu suatu kejahatan yang terjadi dalam konteks hubungan-hubungan yang kompleks dan harapan-harapan diantara dewan direksi, eksekutif dan manejer disuatu pihak dan diantara kantor pusat, bagian-bagian dan cabang-cabang pada pihak lain.
Kendatipun demikian, tidak berarti lalu kejahatan “warungan” tidak mendapat perhatian lagi, akan tetapi harus terdapat perhatian lagi, akan tetapi harus terdapat pemikiran yang proporsionalitas penanganan, sehingga tidak memberi kesan adanya ketidakadilan penanganan. Artinya, kejahatan yang begitu membahayakan dan merugikan masyarakat luas yang ditimbulkan oleh korporasi, namun tidak mendapat penanganan sebagaimana mestinya, tapi dilain pihak, seperti yang selama ini terjadi, kejahatan “warungan” justru mendapat perhatian secara serius dan sungguh-sungguh. Dari apa yang diuraikan di atas adalah merupakan tantangan dan sekaligus menjadi arah bagi pengembangan kriminologi Indonesia di masa mendatang.

B. Saran
Untuk mencegah terjadinya kejahatan korporasi, perlu diadakan aturan yang tegas baik berupa collective self-regulation maupun individualized selfregulation. Namun penerapan collective self-regulation tidak efektif karena pemerintah dan pengadilan harus terus memonitoring setiap aktivitas korporasi, sementara korporasi berusaha untuk mengambil celah agar aktivitas kejahatannya tidak terpantau oleh mereka.
Dengan demikian, cara yang paling baik untuk melawan kejahatan korporasi adalah dengan mencegahnya sebelum terjadi yang dapat dilakukan dengan adanya individualized self regulation di mana setiap perusahaan bertangung jawab atas kebijakan mereka sendiri. Tidak sulit untuk menemukan perusahaan yang mengatakan kepada masyarakat bahwa mereka memiliki tanggung jawab sosial.
Namun banyak perusahaan yang menggunakan hal itu sebagai suatu cara pemasaran untuk meningkatkan image, bahkan penjualan mereka. Selain itu, terdapat berbagai macam perlakuan perusahaan atas nama tanggung jawab sosial yang pada prakteknya sangat bertolak belakang.







No comments:

Post a Comment

Pastikan komentar anda adalah berupa pertanyaan, koreksi, atau hal serupa lainnya yang bermanfaat bagi anda atau pengguna lainnya dikemudian hari, komentar yang bersifat basa-basi sepert, thanks, semoga bermanfaat, atau hal serupa lainnya akan dihapus.