KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Alhamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit
sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah Tuhan seru sekalian
alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira
besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul ” KEJAHATAN
KORPORASI ”.
Dalam penyusunannya, penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak, karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: Kedua orang tua dan teman-teman yang telah memberikan dukungan, yang begitu besar.
Dari sanalah semua kesuksesan ini berawal, semoga semua ini bisa memberikan sedikit kebahagiaan dan menuntun pada langkah yang lebih baik lagi. Meskipun penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan, namun selalu ada yang kurang.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar Makalah ini dapat lebih baik lagi. Akhir kata penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.
Dalam penyusunannya, penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak, karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: Kedua orang tua dan teman-teman yang telah memberikan dukungan, yang begitu besar.
Dari sanalah semua kesuksesan ini berawal, semoga semua ini bisa memberikan sedikit kebahagiaan dan menuntun pada langkah yang lebih baik lagi. Meskipun penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan, namun selalu ada yang kurang.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar Makalah ini dapat lebih baik lagi. Akhir kata penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.
Arga Makmur, November 2013
Penyusun
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR …………………………………………….. . i
DAFTAR ISI ……………………………………………… . ii
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………….. . 1
A. Latar Belakang …………………………………………….. . 1
B. Rumusan Masalah …………………………………………….. . 1
C. Tujuan Penulisan …………………………………………….. . 1
D. Manfaat ……………………………………………… . 1
A. Kerangka Konseptual ……………………………………………… . 2
B. Kerangka Teoritis ……………………………………………… . 6
BAB III PEMBAHASAN ………………………………………………. 12
A. Kejahatan Korporasi ………………………………………………. 12
B. Sebab-sebab Adanya Kejahatan
Korporasi ………………… . 13
BAB IV PENUTUP ……………………………………………….. 19
A. Kesimpulan ……………………………………………….. 19
B. Saran ……………………………………………….. 20
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………….. 21
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Korporasi
sebagai alat yang sangat luar biasa untuk memperoleh keuntungan pribadi tanpa
perlu adannya pertanggung jawaban. Pada berbagai sektor perekonomian, dapat
ditemukan satu contoh pelanggaran korporasi yang telah menimbulkan banyak
kerugian dan kerusakan. Walaupun terdapat berbagai bukti yang menunjukkan
adanya kejahatan korporasi, namun hukuman atas tindakan tersebut selalu
terabaikan. Kejahatan korporasi yang telah terjadi pada berbagai perusahaan di
masa lalu dapat hidup kembali. Oleh karena itu, perlu diketahui bagaimana untuk
mencegahnya.
Banyak
perusahaan sering, dengan sengaja bahkan berulang-ulang, mencemoohkan hukum;
mereka melakukan tidakan yang melanggar hokum namun dengan mudah keluar dari
tuntutan hukum. Padahal masyarakat sangat terganggu akibat tindakan korporasi
tersebut. Pandangan masyarakat pada bentuk kejahatan korporasi sangat berbeda
dengan pandangan mereka pada kejahatan jalanan. Hampir pada setiap kejadian,
efek dari kejahatan korporasi selalu lebih merugikan, memakan biaya lebih
besar, berdampak lebih meluas, dan lebih melemahkan daripada bentuk kejahatan
jalanan.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas dapat dirumuskan suatu
masalah
yaitu :
1. Apa yang dimaksud dengan kejahatan Korporasi.
2. Sebab-sebab adanya kejahatan Korporasi.
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui apa yang dimaksud
dengan kejahatan Korporasi.
2. Mengetahui sebab-sebab
adanya kejahatan Korporasi.
D. Manfaat
Hasil penulisan makalah diharapkan bermanfaat bagi
pengembangan pembelajaran Ilmu Kriminologi terkait Kejahatan Korporasi guna
mengkaji lebih rinci tentang definisi kejahatan korporasi serta sebab-sebab
munculnya kejahatan korporasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka
Konseptual
Korporasi
sebagai suatu badan hukum hasil ciptaan hukum tentunya mempunyai hak dan
kewajiban sebagaimana halnya manusia. Tatanan yang diciptakan oleh hukum itu
baru menjadi kenyataan apabila kepada subjek hukum diberi hak dan dibebani
kewajiban. Ketika subjek hukum itu diberi hak maka iapun secara tidak
langsung sudah dibebani oleh kewajiban atau sebaliknya, tidaklah mungkin adanya
kewajiban bila subjek hukum tidak mempunyai haknya. Untuk mengetahui lebih
jelas mengenai korporasi sebagai suatu badan hukum, ada baiknya menyimak
beberapa pendapat di bawah ini :
Sudikno
Mertokusumo, menjelaskan apa yang dimaksud dengan badan hukum adalah organisasi
atau kelompok manusia yang mempunyai tujuan tertentu yang dapat menyandang hak
dan kewajiban.
Setiawan,menjelaskan
rechtspersoon adalah subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban
sendiri,sekalipun bukan manusia pribadi.Ia mewujudkan dirinya dalam bentuk
badan atau organisasi yang terdiri atas sekumpulan pribadi manusia yang
bergabung untuk suatu tujuan tertentu serta memiliki kekayaan tertentu.
Subekti,
menjelaskan pada pokoknya badan hukum, adalah suatu badan atau perkumpulan yang
dapat memiliki hak-hak melakukan perbuatan seperti seorang manusia, serta
memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau menggugat didepan hakim. Jadi rechtspersoon
artinya orang yang dapat diciptakan oleh hukum.
Rudhi
Prasetya, menjelaskan badan hukum adalah sebagai subjek hukum yang mempunyai
harta kekayaan sendiri yang cakap melakukan perbuatan perdata dengan akibat
dari perbuatannya itu hanya dipertanggungjawabkan sekedar terbatas sampai pada
jumlah harta kekayaan yang ada.
Wirjono
Prodjodikoro, menyatakan korporasi adalah perkumpulan orang, dalam korporasi
biasanya yang mempunyai kepentingan adalah orang-orang yang merupakan anggota
dari korporasi itu, anggota-anggota mana juga mempunyai kekkuasaan dalam
peraturan korporasi berupa rapat anggota sebagai alat kekuasaan yang tertinggi
dalam peraturan korporasi.
Jadi,
dari beberapa pendapat diatas dapat ditarik pengertian secara umum bahwa korporasi
sebagai badan hukum merupakan sekumpulan dari orang-orang yang membentuk suatu
organisasi tertentu dengan tujuan tertentu, memiliki harta kekayaan, serta
mempunyai hak dan kewajiban. Menurut David J. Rachman, ia mengatakan bahwa
secara umum korporasi memiliki lima ciri penting, yaitu :
1. Merupakan
subjek hukum buatan yang memiliki kedudukan hukum
khusus.
2. Memiliki
jangka waktu hidup yang tidak terbatas.
3. Memperoleh
kekuasaan (dari negara) untuk melakukan kegiatan bisnis
tertentu.
4. Dimiliki
oleh pemegang saham.
5. Tanggung
jawab pemegang saham terhadap kerugian korporasi
biasanya sebatas saham yang dimilikinya.
Korporasi
adalah “badan hukum atau gabungan beberapa perusahaan yang dikelola dan
dijalankan sebagai satu perusahaan besar; kumpulan orang atau kekayaan yang
terorganisasi, baik berupa badan hukum maupun bukan badan hukum”. Sedangkan
dalam Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan dan Perdagangan korporasi diartikan
sebagai :
Suatu
kesatuan menurut atau suatu badan susila yang diciptakan menurut undang-undang
sesuatu negara yang menjalankan suatu usaha atau aktifitas atau kegiatan
lainnya yang sah. Badan ini dapat dibentuk untuk selama-lama atau untuk sesuatu
jangka waktu terbatas, mempunyai nama dan identitas yang dengan nama dan identitas
itu dapat dituntut di muka pengadilan, dan berhak akan mengadakan suatu
persetujuan menurut kontrak dan akan melaksanakan semua fungsi lainnya yang
seseorang dapat melaksanakannya menurut undang-undang suatu negara. Pada
umumnya suatu corporation dapat merupakan suatu organisasi pemerintah, setengah
pemerintah atau partikelir.
Untuk
lebih jelas mengetahui korporasi sebagai subjek hukum dalam peraturan
perundang-undangan, penulis mencoba memuatnya dalam bentuk table dibawah
ini.
No
|
Undang-Undang
(UU)
|
Penyebutan
Subjek “Korporasi”
|
1
|
Undang-Undang
Nomor 13 tahun 2010 tentang Holtikultura
|
Korporasi
adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, yang berbadan
hukum ataupun tidak berbadan hukum (Pasal 1 angka 25)
|
2
|
Undang-Undang
Nomor 08 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak pidana
Pencucian uang
|
Korporasi
adalah sekumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan
badan hukum maupun bukan badan hukum (Pasal 1 angka 10)
|
3
|
Undang-Undang
Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
|
Korporasi
adalah sekumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan
badan hukum maupun bukan badan hukum (Pasal 1 angka 3)
|
4
|
Undang-Undang
Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo.
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001
|
Korporasi
adalah sekumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan
badan hukum maupun bukan badan hukum (Pasal 1 angka 1)
|
5
|
Undang-Undang
Nomor 06 tahun 1984 tentang Pos
|
Dilakukan
oleh atau atas nama “badan hukum, perseroan, perserikatan orang lain, atau
yayasan” (Pasal 19 ayat (3))
|
6
|
Undang-Undang
Nomor 05 tahun 1984 tentang Perindustrian
|
Korporasi
tidak disebut secara eksplisit, tetapi dalam Pasal 21 ayat (1) Jo. Pasal 1
angka 7 disebut subjek tindak pidana berupa “perusahaan industri”. Perusahaan
industri adalah badan usaha yang melakukan kegiatan di bidang usaha industri.
|
7
|
Undang-Undang
Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
|
Hanya
disebutkan setiap orang. Setiap orang adalah orang perseorangan atau
korporasi (Pasal 1 angka 16)
|
8
|
Undang-Undang
Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi
|
Hanya
disebutkan setiap orang. Setiap orang adalah orang perseorangan atau
korporasi baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum (Pasal 1
angka 3)
|
9
|
Undang-Undang
Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
|
Hanya
disebutkan setiap orang. Setiap orang adalah orang perseorangan, baik warga
negara Indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum (Pasal 1 angka 21)
|
Dilihat
dari tabel di atas, masih ditemukannya penyebutan istilah korporasi yang
bermacam-macam atau belum seragam. Penulisan istilah korporasi mulai terlihat
pada tahun 1997 dalam UU Psikotropika. Hal ini dipengaruhi oleh Konsep KUHP
(baru) 1991/1992 sebagai ius constituendum dalam Pasal 146 yang
menyatakan korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan atau
kekayaan, baik merupakan badan hukum atau bukan.
Menurut
I Gede Widhiana Suarda, ia mengatakan korporasi dapat dijadikan subjek hukum
pidana internasional dengan alas an :
1. Korporasi
dapat dijadikan sarana untuk mencari keuntungan dan pada
akhirnya digunakan sebagai sumber dana
suatu kejahatan
internasional. Artinya, keuntungan suatu
korporasi ditujukan untuk
mendanai kejahatan internasional, seperti
terorisme, kejahatan
perang, genosida, dan sebagainya. Dalam hal
ini, korporasi tersebut
pada umumnya berstatus legal serta
menjalankan usaha sebagaimana
layaknya korporasi legal pada umumnya.
2. Selain
digunakan sebagai sarana untuk mendanai kejahatan
internasional, korporasi dapat dijadikan
sebagai tempat atau sarana
untuk mencuci uang (money laundering)
hasil-hasil kejahatan
internasional, misalnya mencuci uang
korupsi, perdagangan narkotika
dan sebagainya. Artinya korporasi dapat
didirikan secara legal serta
melakukan kegiatan dengan legal pula,
tetapi itu hanya sebagai kedok
untuk mencuci uang dari hasil tindak pidana
internasional yang
dilakukannya.
3. Korporasi
dapat menjadi pelaku tindak pidana internasional, baik
secara langsung maupun tidak langsung.
Sebagai contohnya adalah
ketika terjadi pembantaian etnis (genosida)
di Rwanda, ternyata ada
beberapa korporasi, baik yang secara
langsung maupun tidak langsung
ikut berperan dalam mengobarkan semangat
pembantaian tersebut.
Dalam masa pembantaian tersebut beberapa
media massa Rwanda
telah ikut mamainkan peran penting “memuluskan”
kejahatan yang
dilakukan.karena itu, wajar apabila
korporasi dapat dijadikan sebagai
subjek hukum pidana internasional.
4. Perkembangan
dalam teori hukum (dan hukum pidana khususnya)
telah menempatkan korporasi sebagai subjek
hukum sebagaimana
manusia atau individu. Hampir semua negara
di dunia telah
menempatkan korporasi juga sebagai subjek
hukum dalam sistem
hukum pidananya, termasuk Indonesia. Memang
pada awal
kemunculan fenomena korporasi sebagai
subjek hukum pidana telah
ditentang dan dikritik banyak orang. Namun
demikian saat ini,
keberadaan korporasi sebagai pelaku tindak
pidana atau sebagai
subjek hukum pidana sudah tidak
terbantahkan lagi.
5. Dari
sisi praktik penegakan hukum pidana internasional telah
menunjukan bahwa suatu organisasi pernah
ditetapkan oleh
Mahkamah Internasional (Mahkamah Nuremberg)
sebagai organisasi
yang terlarang. Mahkamah Nuremberg telah
menetapkan 6 organisasi
yang terlibat dalam Perang Dunia II sebagai
organisasi kejahatan dan
menbebaskan 2 organisasi dari tuduhan.
Dalam konteks ini
keterlibatan suatu organisasi dapat saja
mengarah pada suatu
korporasi. Apabila mengacu pada doktrin
dalam hukum pidana tentang
ruang lingkup korporasi, yang menetapkan
ruang lingkup korporasi
dalam arti luas : korporasi adalah kumpulan
baik yang berbadan
hukum maupun yang tidak berbadan hukum, maka suatu
organisasi
(sekalipun tidak berbadan hukum) dapat saja
dikualifikasikan sebagai
suatu korporasi yang terlibat dalam suatu
kejahatan internasional.
Oleh karena itu, organisasi atau korporasi
tersebut semestinya dapat
dijadikan subjek hukum internasional
sekaligus dipidana atas dasar
hukum pidana internasional.
B. Kerangka
Teoritis
Korporasi
ada karena keberadaanya memang diperlukan. Ada beberapa terori yang mencoba
menjelaskan mengapa korporasi perlu ada. Terdapat dua aliran utama yang
menjelaskan mengapa korporasi perlu ada yakni pertama, penjelasan yang
lebih bertumpu pada pendekatan kontraktual yang terdiri dari tiga teori, yaitu
teori neo institusi biaya transaksi (transaction cost theory), teori
agensi (agency theory), dan teori kontrak yang tidak lengkap (incomplete
contract). Kedua, pendekatan yang berbasis pada teori kompetensi.
Pada dasarnya, pendekatan kompetensi menjadi alternatif dari pendekatan
kontraktual yang menjadi pendekatan utama dalam analisis organisasi. Dengan
kata lain, pendekatan berbasis kompetensi bersifat heterodoks, sementara
pendekatan kontraktual lebih bersifat ortodok.
Dasar
kesalahan perusahaan yang dapat diindikasikan sebagai kejahatan korporasi dapat
terlihat dari kelalaian, keserampangan, kelicikan dan kesengajaan atas segala
tindakan korporasi. Untuk lebih mendalami lagi, Agus Budianto mengatakan bahwa
terdapat dua model mengenai kejahatan korporasi. “Pertama, kejahatan
yang dilakukan oleh orang yang bekerja atau yang berhubungan dengan suatu
perusahaan yang dipersalahkan; dan Kedua, perusaan sendiri yang
melakukan tindakan kejahatan melalui karyawan-karyawannya”. Bila seorang
yang cukup berkuasa dalam struktur korporasi, atau dapat mewakilkan korporasi
melakukan suatu kejahatan, maka perbuatan dan niat orang itu dapat dihubungkan
dengan korporasi. Korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban secara langsung.
Namun, korporasi tidak dapat dipersalahkan atas suatu kejahatan yang dilakukan
oleh seorang yang berada di level yang rendah dalam hirarki korporasi tersebut.
Dalam
usaha meminta pertanggungjawaban pidana korporasi, telah melahirkan sejumlah
konsep yang menguraikan perkembangan pemikiran tentang pertanggungjawaban
subjek hukum korporasi dengan pembagian pentahapan sebagaimana yang dikemukakan
oleh D. Schaffmeister: tahap pertama ditandai dengan adanya usaha-usaha agar
perbuatan pidana yang dilakukan badan hukum, dibatasi pada perorangan (natuurlijk
persoon); tahap kedua yaitu pada periode setelah perang dunia kedua yang
ditandai dengan pengakuan bahwa suatu perbuatan pidana dapat dilakukan oleh
korporasi; dan tahap tiga terjadi pada masa setelah perang dunia kedua, dimana
tanggung jawab pidana langsung dapat dimintakan kepada korporasi.
Selain
itu, menurut C.M.V. Clarkson ia mengatakan bahwa masih terdapat tujuh konsep
yang merupakan perkembangan dari diskursus doktrin-doktrin mengenai tanggung
jawab pidana korporasi. Tujuh konsep tersebut adalah “identification
doctrine, aggregation doctrine, reactive corporate fault, vicarious liability,
management failure model, corporate mens rea doctrine, dan specific
corporate offences”. Barda Nawawi Arief, dalam bukunya yang berjudul
“Sari Kuliah Perbandingan Hukum” hanya menyebutkan empat teori-teori
pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu “doktrin pertanggung-jawaban pidana
langsung (direct liability doctrine) atau teori Identifikasi (identification
theory), doktrin pertanggungjawaban pidana pengganti (vicarious liability),
doktrin pertanggungjawaban pidana yang ketat menurut undang-undang (strict
liability), dan doktrin/teori budaya korporasi (company culture theory)”.
Menurut
identification doctrine, bila seorang yang cukup senior dalam struktur
korporasi atau dapat mewakili korporasi melakukan suatu kejahatan dalam bidang
jabatannya, maka perbuatan dan niat orang itu dapat dihubungkan dengan
korporasi. Korporasi dapat diidentifikasi dengan perbuatan ini dan dimintai
pertanggungjawaban secara langsung. Dalam kasus semacam ini akan selalu mungkin
untuk menuntut keduanya, yaitu korporasi dan individu. Namun, suatu korporasi
tidak dapat diidentifikasi atas suatu kejahatan yang dilakukan oleh seorang
yang berada di level rendah dalam hirarki korporasi itu. Perbuatannya bukan
perbuatan korporasi, dan oleh karena itu korporasi tidak bertanggung jawab.
Dalam kasus semacam ini tuntutan hanya dapat dilakukan terhadap individu
tersebut dan korporasi tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya. Dengan kata
lain, perbuatan atau kesalahan oleh pejabat senior diidentifikasi sebagai
perbuatan atau kesalahan korporasi karena pejabat senior diibaratkan otaknya
sebuah korporasi yang bisa mengendalikan perusahaan, baik sendiri maupun
bersama-sama. Teori semacam ini menarik untuk mereka yang menyatakan bahwa
korporasi tidak dapat berbuat atau melakukan sesuatu kecuali melalui
manusia yang mewakili mereka. Namun, terdapat keberatan yang cukup signifikan
atas identification doctrine ini, khususnya berkaitan dengan
korporasi-korporasi besar dimana kemungkinannya sangat kecil seorang senior
melakukan perbuatan secara langsung atas suatu tindakan pidana dengan disertai mens
rea.
Dalam
hal tindak pidana yang menyebabkan orang mati atau luka berat, sangat kecil
kemungkinan seorang pegawai senior akan secara langsung tangannya berlumuran
dengan darah. Pada korporasi dengan struktur organisasi yang sangat besar dan
kompleks, hampir mustahil bagi pihak luar untuk menembus dinding korporasi guna
memastikan individu-individu yang sesungguhnya melakukan kejahatan. Sejumlah
uang, waktu dan keahlian yang dilibatkan dalam investigasi semacam ini bisa
jadi tidak sebanding dengan kesalahan yang dilakukan, dan dalam peristiwa
tertentu, bisa jadi tidak membuahkan hasil bila korporasi memutuskan untuk
menebarkan asap kabut di sekitar daerah operasional internalnya. Lebih penting
lagi, meskipun penyelidikan dilakukan secara layak, seringkali terungkap bahwa
kesalahan tidak terletak pada individu tertentu tetapi lebih pada korporasi itu
sendiri.
Aggregation
doctrine
merupakan sebuah alternatif dasar pembentukan tanggung jawab pidana untuk
mengatasi sejumlah permasalahan yang muncul dalam identification doctrine.
Menurut pendekatan ini, tindak pidana tidak bisa hanya diketahui atau dilakukan
oleh satu orang. Oleh karena itu, perlu mengumpulkan semua tindakan dan niat
dari beragam orang yang relevan dalam korporasi tersebut, untuk memastikan
secara keseluruhannya tindakan mereka akan merupakan suatu kejahatan atau
senilai dengan apabila perbuatan dan niat itu dilakukan oleh satu orang.
Doktrin ini mengambil keuntungan dari pengakuan bahwa dalam banyak kasus tidak
mungkin memisahkan seseorang yang telah melakukan kejahatan dengan niat dan
doktrin ini juga dapat mencegah korporasi dari mengubur tanggung jawabnya
dalam-dalam di dalam struktur korporasi.
Namun,
pada struktur korporasi yang besar dan kompleks, justru doktrin ini tidak
efektif dalam hal pencegahan. Sebab doktrin ini gagal memberikan peringatan
lebih lanjut kepada korporasi mengenai apa yang diharapkan akan dilakukan oleh
korporasi agar mereka tidak terkena resiko tanggung jawab pidana. Doktrin ini
bukan menemukan seseorang yang pada korporasi diidentifikasi, malah
menemukannya pada beberapa orang. Doktrin ini mengabaikan kenyataan bahwa
esensi yang sebenarnya dari kesalahan mungkin bukan yang dilakukan oleh orang
orang-orang melainkan fakta bahwa korporasi tidak memiliki struktur organisasi
atau kebijakan untuk mencegah orang-orang melakukan apa yang mereka kerjakan
yang secara kumultatif menjadi suatu tindak pidana.
Reactive
corporate fault
merupakan suatu pendekatan berbeda tentang tanggung jawab pidana korporasi
sebagaimana yang diusulkan oleh Brent Fisse dan Braithwaite. Mereka
mengemukakan bahwa suatu perbuatan yang merupakan tindak pidana yang dilakukan
oleh atau atas nama sebuah korporasi, pengadilan harus diberi kewenangan untuk
memerintahkan korporasi untuk melakukan investigasi sendiri guna memastikan
orang yang bertanggung jawab dan mengambil suatu tindakan disiplin yang sesuai
atas kesalahan orang tersebut dan mengambil langkah-langkah perbaikan untuk
menjamin kesalahan tersebut tidak terulang kembali.
Apabila
korporasi mengambil langkah penanganan yang tepat, maka tidak ada tanggung
jawab pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi. Tanggung jawab pidana
hanya bisa diterapkan pada korporasi apabila korporasi gagal memenuhi perintah
pengadilan dengan sungguh-sungguh. Dengan demikian, kesalahan korporasi
bukanlah kesalahan pada saat kejadian terjadi tetapi kesalahan karena korporasi
gagal melakukan tindakan yang tepat atas kesalahan yang dilakukan oleh
pekerjanya. Pendekatan ini memiliki kelebihan yaitu mewajibkan korporasi itu
sendiri melakukan penyelidikan yang sesuai, bukannya aparatur negara yang
melakukannya. Hal ini tidak hanya akan menghemat waktu dan uang publik, tetapi seringkali
korporasi ini sendiri memiliki kemampuan terbaik untuk memahami dan menembus
struktur organisasinya yang kompleks. Ini juga merupakan satu pendekatan yang
mengakui bahwa satu dari tujuan dari utama tanggung jawab pidana korporasi
adalah untuk memastikan bahwa korporasi memperbaiki kebijakan-kebijakan dan
praktek-praktek mereka yang kurang baik, sehingga mencegah kesalahan tersebut
terulang.
Vicarious
liability
merupakan cara yang sangat umum dalam meminta korporasi bertanggung jawab
secara pidana dan doktrin ini sering digunakan oleh negara Amerika
Serikat. Menurut doktrin ini, bila seorang agen atau pekerja korporasi,
bertindak dalam lingkup pekerjaanya dan dengan maksud untuk menguntungkan
korporasi, melakukan suatu kejahatan, tanggung jawab pidananya dapat dibebankan
kepada perusahaan. Tidak masalah perusahaan tersebut secara nyata memperoleh
keuntungan atau tidak. Atau satu korporasi dapat dinyatakan telah menyerahkan
kekuasaan untuk bertindak di dalam bidangnya masing-masing kepada seluruh staf-nya
dan berdasarkan itu, korporasi harus dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan
jahat mereka. Ini yang juga dijadikan alasan bahwa pencegahan yang optimal
dapat tercapai dengan menerapkan vicarious liability pada korporasi
tersebut.
Seiring
dengan itu Peter Gillies membuat beberapa proposisi yaitu suatu
perusahaan (sepertinya halnya dengan manusia sebagai pelaku/ pengusaha) dapat
bertanggung jawab secara mengganti untuk perbuatan yang dilakukan oleh
karyawan/agennya. Pertanggungjawaban demikian hanya timbul untuk delik yang
mampu dilakukan secara vicarious. Dan kedudukan majikan atau agen dalam
ruang lingkup pekerjaanya tidaklah relevan menurut doktrin ini. Tidaklah
penting bahwa majikan, baik sebagai korporasi maupun secara alami, tidak telah
mengarahkan atau memberi petunjuk/perintah pada karyawan untuk melakukan
pelanggaran hukum pidana. (bahkan dalam beberapa kasus, vicarious liability
dikenakan terhadap majikan walaupun karyawan melakukan perbuatan bertentangan
dengan instruksi, berdasarkan alasan perbuatan karyawan dipandang sebagai telah
melakukan perbuatan itu dalam ruang lingkup pekerjaanya). Oleh karena itu,
apabila perusahaan terlibat, pertanggungjawabannya muncul sekalipun perbuatan
itu dilakukan tanpa menunjuk pada orang senior di dalam perusahaan.
Management
failure model
merupakan doktrin yang lebih menitikberatkan kesalahan pada korporasi bukan
merupakan kesalahan korporasi seutuhnya, melainkan kesalahan tersebut karena
adanya kesalahan menajemen. Misalnya, kejahatan pembunuhan tanpa rencana yang
dilakukan korporasi karena ada kesalahan menejemen oleh korporasi yang
menyebabkan seseorang meninggal dunia dan kegagalan tersebut merupakan perilaku
yang secara rasional berada jauh dari yang diharapkan dilakukan oleh suatu
korporasi. Kejahatan ini dibuat tanpa mengacu ke konsep mens rea dalam rangka
memastikan perbedaan sifat perbuatan salah oleh korporasi. Dari pandangan
tersebut kelihatannya konsep ini tidak lebih dari perluasan identification
doctrine daripada melihat kegagalan dari pihak individu atau kelompok
individu yang menduduki posisi tinggi, maka yang dilihat adalah kegagalan
menajemennya.
Corporate
mens rea doctrine,
pada dasarnya korporasi tidak dapat melakukan perbuatan jahat. Hanya
orang-orang yang ada dalam perusahaan tersebut mampu melakukan perbuatan jahat.
Ide dasar doktrin ini ada karena seluruh doktrin yang lainnya telah mengabaikan
realitas kompleksnya organisasi korporasi dan dinamika proses secara
organisasional, struktur, tujuan, kebudayaan hirarki yang dapat bersenyawa dan
berkontribusi untuk suatu etos yang mengizinkan atau bahkan mendorong
dilakukannya sebuah kejahatan. Berdasarkan pandangan ini, maka korporasi dapat
diyakini sebagai agen yang melakukan kesalahan yang bertindak melalui staf
mereka dan pekerja, dan mens reanya dapat ditemukan dalam praktek dan kebijakan
korporasi.
Poin
penting dari pendekatan ini adalah bukan tentang apakah individu di dalam
perusahaan telah dapat memperkirakan kerugian yang akan terjadi, tetapi apakah
dalam struktur korporasi yang benar dan terorganisasi dengan baik resiko-resiko
yang telah nyata. Untuk individu tidak ada pengakuan, maksud dan perkiraan
dapat disimpulkan dari tindakan obyektif. Ini hanya dapat dilakukan berdasarkan
pada apa yang akan dapat diduga oleh seseorang yang normal, kecuali kehendak
tersebut dalam beberapa hal berbeda dengan orang yang normal.
Specific
corporate offences,
mengenai hal ini Komisi Hukum Inggris telah mengusulkan akan satu kejahatan
baru yaitu pembunuhan oleh korporasi “corporate killing” telah diperkenalkan
dalam hukum Inggris. Kejahatan ini akan merupakan suatu yang terpisah dari
perilaku yang menyebabkan matinya orang atau orang-orang lain karena kelalaian
pelaku yang hanya dapat dilakukan oleh korporasi. Dalam hal ini,
masalah-masalah yang berkaitan dengan penegasan tentang kesalahan korporasi,
seperti pembuktian dari niat atau kesembronoan, dapat diatasi dengan membuat
definisi khusus yang hanya dapat diterapkan kepada korporasi.
Strict
liability merupakan
pertanggungjawaban pidana korporasi yang dapat semata-mata berdasarkan
undang-undang, yaitu dalam hal korporasi tidak memenuhi
kewajiban/kondisi/situasi tertentu yang ditentukan oleh undang-undang.
Pelanggaran kewajiban/kondisi/situasi tertentu oleh korporasi ini dikenal
dengan istilah “strict liability offence”. Sedangkan Doktrin/teori
budaya korporasi (company culture theory), menurut doktrin/teori ini,
korporasi dapat dipertanggungjawabkan dilihat dari prosedur, sistem bekerjanya,
atau budayanya. Oleh karena itu teori budaya ini, sering juga disebut teori
model/sistem atau model organisasi (organizational or system model).
Kesalahan korporasi didasarkan pada “internal decision-making struktur”.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Kejahatan Korporasi
1. Pengertian Kejahatan Korporasi
Kejahatan diartikan sebagai suatu perbuataan yang
oleh masyarakat dipandang sebagai kegiatan yang tercela, dan terhadap pelakunya
dikenakan hukuman (pidana). Sedangkan korporasi adalah suatu badan hukum yang
diciptakan oleh hukum itu sendiri dan mempunyai hak dan kewajiban. Jadi,
kejahatan korporasi adalah kejahatan yang dilakukan oleh badan hukum yang dapat
dikenakan sanksi. Dalam literature sering dikatakan bahwa kejahatan korporasi
ini merupakan salah satu bentuk White
Collar Crime.Dalam arti luas kejahatn korporasi ini sering rancu dengan
tindak pidana okupasi, sebab kombinasi antara keduanya sering terjadi.
Menurut Marshaal B. Clinard dan Peter C Yeager
sebagaimana dikutip oleh Setiyono dikatakan bahwa setiap tindakan yang
dilakukan oleh korporasi yang bias diberi hukuman oleh Negara, entah di bawah
hukum administrasi Negara, hokum perdata maupun hukum pidana.
Menurut Marshaal B. Clinard kejahatan korporasi
adalah merupakan kejahatan kerah putih namun ia tampil dalam bentuk yang lebih
spesifik. Ia lebih mendekati kedalam bentuk kejahatan terorganisir dalam
konteks hubungan yang lebih kompleks dan mendalam antara seorang pimpinan
eksekutif, manager dalam suatu tangan. Ia juga dapat berbentuk korporasi yang
merupakan perusahaan keluarga, namun semuanya masih dalam rangkain bentuk
kejahatan kerah putih.
Menurut Sutherland kejahatan kerah putih adalah
sebuah perilaku keriminal atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
seseorang dari kelompok yang memiliki keadaan sosio- ekonomi yang tinggi dan
dilakukan berkaitan dengan aktifitas pekerjaannya.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
kejahatan korporasi pada umumnya dilakukan oleh orang dengan status social yang
tinggi dengan memanfaatkan kesempatan dan jabatan tertentu yang dimilikinya.
Dengan kadar keahlian yang tinggi dibidang bisnis untuk mendapatkan keuntungan
dibidang ekonomi.
2. Karakteristik Kejahatan Korporasi
Salah satu
hal yang membedakan antara kejahatan korporasi dengan
kejahatan
konvensional atau tradisional pada umumnya terletak pada
karakteristik
yang melekat pada kejahatan korporasi itu sendiri, antara
lain :
1. Kejahatan tersebut sulit terlihat ( Low visibility ), karena biasanya
tertutup
oleh kegiatan pekerjaan yang rutin dan normal, melibatkan
keahlian
professional dan system organisasi yang kompleks.
2. Kejahatan tersebut sangat kompleks ( complexity ) karena selalu
berkaitan
dengan kebohongan, penipuan, dan pencurian serta sering
kali
berkaitan dengan sebuah ilmiah, tekhnologi, financial, legal,
terorganisasikan,
dan melibatkan banyak orang serta berjalan
bertahun–tahun.
3. Terjadinya penyebaran tanggung jawab ( diffusion of responsibility )
yang
semakin luas akibat kompleksitas organisasi.
4. Penyebaran korban yang sangat luas (diffusion of victimization )
seperti
polusi dan penipuan.
5. Hambatan dalam pendeteksian dan penuntutan ( detection and
prosecution ) sebagai akibat profesionalisme yang tidak seimbang
antara
aparat penegak hukum dengan pelaku kejahatan.
6. Peraturan yang tidak jelas (ambiguitas law ) yang sering menimbulkan
kerugian
dalam penegakan hukum.
7. Sikap mendua status pelaku tindak pidana. Harus
diakui bahwa pelaku
tindak
pidana pada umumnya tidak melanggar peraturan perundang –
undangan
tetapi memang perbuatan tersebut illegal.
B. Sebab-sebab Adanya
Kejahatan Korporasi
Keinginan korporasi untuk terus meningkatkan keuntungan
yang diperolehnya mengakibatkan terjadinya tindakan pelanggaran hukum.
Korporasi, sebagai suatu badan hukum, memiliki kekuasaan yang besar dalam
menjalankan aktivitasnya sehingga sering melakukan aktivitas yang bertentangan
dengan ketentuan hukum yang berlaku, bahkan selalu merugikan berbagai pihak.
Walaupun demikian, banyak korporasi yang lolos dari kejaran hokum sehingga
tindakan kejahatan korporasi semakin meluas dan tidak dapat dikendalikan.
Dengan mudahnya korporasi menghilangkan bukti-bukti atas segala kejahatannya
terhadap masyarakat. Sementara itu, tuntutan hukum terhadap perilaku buruk
korporasi tersebut selalu terabaikan karena tidak ada ketegasan dalam
menghadapi masalah ini.
Pemerintah dan aparat hukum
harus mengambil tindakan yang tegas mengenai kejahatan korporasi karena baik
disengaja maupun tidak, kejahatan korporasi selalu memberikan dampak yang luas
bagi masyarakat dan lingkungan, bahkan dapat mengacaukan perekonomian negara. Jika hukuman dan sanksi yang dijatuhkan kepada korporasi tidak memiliki
keberartian, perilaku buruk korporasi dengan melakukan aktivitas yang illegal
tidak akan berubah. Korporasi diharapkan tidak lagi melarikan diri dari
tanggung jawabnya, dalam hal ini tanggung jawab pidana. Terutama, korporasi akan
dibebani oleh lebih banyak tanggung jawab moral dan sosial untuk memperhatikan
keadaan dan keamanan lingkungan kerjanya, termasuk penduduk, budaya, dan
lingkungan hidup.
Menurut Gobert dan Punch, hal paling utama untuk
mencegah terjadinya kejahatan korporasi adalah dengan adanya pengendalian diri
dan tanggung jawab sosial dan moral terhadap lingkungan dan masyarakat di mana
tanggung jawab tersebut berasal dari korporasi itu sendiri maupun
individu-individu di dalamnya.
Kejahatan korporasi yang
lazimnya berbentuk dalam kejahatan kerah putih (white-collar crime), biasanya
dilakukan oleh suatu perusahaan atau badan hukum yang bergerak dalam bidang
bisnis dengan berbagai tindakan yang melanggar hukum pidana. Berdasarkan pengalaman dari beberapa negara maju dapat dikemukakan bahwa
identifikasi kejahatan-kejahatan korporasi dapat mencakup tindak pidana seperti
pelanggaran undang-undang anti monopoli, penipuan melalui komputer, pembayaran
pajak dan cukai, pelanggaran ketentuan harga, produksi barang yang membahayakan
kesehatan, korupsi, penyuapan, pelanggaran administrasi, perburuhan, dan
pencemaran lingkungan hidup.
Kejahatan korporasi tidak hanya dilakukan oleh satu
korporasi saja, tetapi dapat dilakukan oelh dua atau lebih korporasi secara
bersama-sama. Apabila perbuatan yang dilakukan korporasi, dikaitkan dengan
peraturan perundang-undangan di bidang hukum pidana yang merumuskan korporasi
sebagai subjek tindak pidana, maka korporasi tersebut jelas dapat dipidana.
Bercermin dari bentuk-bentuk tindak pidana di bidang ekonomi yang dilakukan
oleh korporasi dalam menjalankan aktivitas bisnis, jika dikaitkan dengan proses
pembangunan, maka kita dihadapkan kepada suatu konsekuensi meningkatnya tindak
pidana korporasi yang mengancam dan membahayakan berbagai segi kehidupan di
masyarakat.
Korporasi, sebagai subjek tindak pidana, dapat
dimintai pertanggung jawaban atas tindakan pidana, jika tindakan pidana
tersebut dilakukan oleh atau untuk korporasi maka hukuman dan sanksi dapat dijatuhkan
kepada korporasi dan atau individu di dalamnya. Namun demikian perlu diadakan
indentifikasi pada individu korporasi misalnya pada direktur, manajer dan
karyawan agar tidak terjadi kesalahan dalam penjatuhan hukuman secara
individual. Tidak bekerjanya hukum dengan efektif untuk menjerat kejahatan
korporasi, selain karena keberadaan suatu korporasi dianggap penting dalam
menunjang pertumbuhan atau stabilitas perekonomian nasional, sering kali juga
disebabkan oleh perbedaan pandangan dalam melihat kejahatan yang dilakukan oleh
korporasi.
Kejahatan yang dilakukan oleh korporasi lebih
dianggap merupakan kesalahan yang hanya bersifat administratif daripada suatu
kejahatan yang serius. Sebagian besar masyarakat belum dapat memandang
kejahatan korporasi sebagai kejahatan yang nyata walaupun akibat dari kejahatan
korporasi lebih merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat dibandingkan
dengan kejahatan jalanan.
Akibat dari suatu kejahatan yang dilakukan oleh
korporasi lebih membahayakan dibandingkan dengan kejaharan yang diperbuat
seseorang. Dasar kesalahan perusahaan yang dapat diindikasikan sebagai
kejahatan korporasi, terlihat dalam kelalaian, keserampangan, kelicikan, dan
kesengajaan atas segala tindakan korporasi. Setiap suatu korporasi dimintai pertangungjawabannya
oleh aparat penegak hukum, selalu ada berbagai tekanan baik dari korporasi
maupun pemerintah yang akhirnya menghilangkan tuntutan hukum korporasi. Aparat
penegak hukum seringkali gagal dalam mengambil tindakan tegas terhadap berbagai
kejahatan yang dilakukan oleh korporasi. Hal ini sangat mengkhawatirkan, karena
dampak kejahatan yang ditimbulkan oleh korporasi sangat besar. Korbannya bisa
berjumlah puluhan, ratusan, bahkan ribuan orang. Contohnya, terbaliknya kapal
the Herald of Free Enterprise yang memakan korban ratusan orang. Selain itu
korporasi, dengan kekuatan finansial serta para ahli yang dimiliki, dapat
menghilangkan bukti-bukti kejahatan yang dilakukan. Bahkan, dengan dana yang
dimiliki, korporasi dapat pula mempengaruhi opini serta wacana di masyarakat,
sehingga seolah-olah mereka tidak melakukan suatu kejahatan. Salah satu
penyebab utama gagalnya penuntutan dalam suatu perkara yang terdakwanya
korporasi adalah karena korporasi tersebut tidak memiliki direktur yang
bertanggung jawab atas keselamatan dan tidak memiliki kebijakan yang jelas yang
mengatur mengenai keselamatan. Kurangnya koordinasi structural dalam sebuah
organisasi dianggap sebagai penyebab terjadinya kejahatan korporasi.
Misalnya pada kasus terbaliknya kapal the Herald of
Free Enterprise. Penyebab nyata terbaliknya kapal yang menyebabkan kematian
sekitar 200 nyawa ini adalah lemahnya koordinasi di antara para pekerja sebagai
akibat tidak adanya kebijakan-kebijakan tentang keselamatan. Laporan mengenai
investigasi terbaliknya kapal tersebut menyatakan bahwa tidak ada keraguan
kesalahan sebenarnya terletak pada korporasi itu sendiri karena tidak memiliki
kebijakankebijakan mengenai keselamatan dan gagal untuk memberikan petunjuk
keselamatan yang jelas. Kasus ini terutama disebabkan oleh kecerobohan.
Hukuman atas segala kejahatan korporasi adalah
sebuah persoalan politis. Yang terjadi dalam peristiwa politis adalah
tawar-menawar yang mencari keseimbangan antara hak dan kewajiban warga negara.
Dalam hitungan hak dan kewajiban, korporasi dibolehkan menikmati hak-hak yang
sangat luas dan menciutkan kewajiban-kewajiban mereka. Kerugian akibat
kejahatan korporasi sering sulit dihitung karena akibat yang ditimbulkannya
berlipat-lipat, sementara hukuman atau denda pengadilan acap kali tidak
mencerminkan tingkat kejahatan mereka Perusahaan memiliki kekuatan untuk
menentukan kebijakan melalui direktur dan para eksekutif dan perusahaan
seharusnya bertanggung jawab atas akibat dari kebijakan mereka. Namun
perusahaan – tidak seperti manusia – tidak dibebani oleh berbagai emosi dan
perasaan sehingga dengan mudahnya dapat menutupi perilaku buruknya.
Terdapat dua model kejahatan
korporasi; pertama, kejahatan yang dilakukan oleh orang yang bekerja atau yang
berhubungan dengan suatu perusahaan yang dipersalahkan; dan kedua, perusahaan
sendiri yang melakukan tindakan kejahatan melalui karyawan-karyawannya. Kejahatan yang terjadi dalam konteks bisnis dilatar belakangi oleh
berbagai sebab. Human error yang dipadukan dengan kebijakan yang sesat dan
kekeliruan dalam pengambilan keputusan merangsang terjadinya tindakan
pelanggaran hukum. Pada pendekatan di Amerika mengenai vicarious liability
menyatakan bahwa bila seorang pegawai korporasi atau agen yang berhubungan
dengan korporasi, bertindak dalam lingkup pekerjaannya dan dengan maksud untuk menguntungkan korporasi dengan melakukan
suatu kejahatan, tanggung jawab pidananya dapat dibebankan kepada perusahaan.
Tidak peduli apakah perusahaan secara nyata memperoleh keuntungan atau tidak atau
apakah perusahaan telah melarang aktivitas tersebut atau tidak. Sedangkan di
Inggris, various liability terbatas pada tanggung jawab perusahaan terhadap
kejahatan korporasi yang dilakukan oleh seorang yang memiliki kekuasaan yang
tinggi (identification).
Teori ini menyatakan bahwa korporasi tidak dapat
melakukan sesuatu kecuali melalui seorang yang dapat mewakilinya. Bila seorang
yang cukup berkuasa dalam struktur korporasi, atau dapat mewakili korporasi
melakukan suatu kejahatan, maka perbuatan dan niat orang itu dapat dihubungkan
dengan korporasi. Korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban secara langsung.
Namun, suatu korporasi tidak dapat disalahkan atas suatu kejahatan yang
dilakukan oleh seorang yang berada di level yang rendah dalam hirarki korporasi
tersebut. Komisi Hukum Inggris telah mengusulkan bahwa terdapat satu kejahatan
baru, yaitu pembunuhan oleh korporasi “corporate killing”. Kejahatan ini merupakan
suatu species terpisah dari manslaugter yang hanya dapat dilakukan oleh
korporasi. Dalam hal ini, masalah-masalah yang berkaitan dengan penegasan
tentang kesalahan korporasi, seperti pembuktian dari niat atau kesembronoan,
dapat diatasi dengan membuat definisi khusus yang hanya dapat diterapkan kepada
korporasi.
Pada era globalisasi ini, perkembangan perusahaan
multinasional sangat pesat, bahkan perusahaan tersebut mampu menempatkan diri
pada posisi yang sangat strategis untuk memperoleh perlindungan hukum sehingga
peradilan dalam negeri sulit untuk mengajukan tuntutan terhadap tindakan mereka
yang merugikan. Agar kelemahan perangkat hukum tidak terulang lagi, perlu
dibuat aturan pertanggung jawaban korporasi yang komprehensif dan mencakup
semua kejahatan. Namun, pada pengadilan atas tindakan kriminalirtas korporasi,
keputusan mengenai hukuman dan sanksi, selalu menjadi hal terakhir untuk
diputuskan. Setiap tuntuan yang terjadi atas kejahatan korporasi selalu
dipersulit sehingga sering tidak dapat direalisasikan. Dengan demikian dapat
terlihat bahwa hukum pun masih tidak dapat diandalkan untuk menindak lanjuti
masalah kejahatan korporasi. Suatu tindakan kejahatan, terjadi karena korporasi
tersebut mendapatkan keuntungan dari tindakan kejahatan yang dilakukannya. Oleh
karena itu, agar dapat menghapuskan tindakan kejahatan korporasi, dapat
dilakukan dengan mengambil keuntungan yang diperolehnya atas tindakan
kriminalitas tersebut. Misalnya dengan membebankan korporasi suatu denda yang
lebih besar dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh. Jika tindakan
kriminalitas tidak lagi mengutungkan korporasi, maka ia tidak akan terlibat
kembali dalam suatu tindakan kriminal.
Namun dalam prakteknya, denda hukum yang dijatuhkan
kepada korporasi sekedar dihitung sebagai biaya produksi tanpa sepeserpun
mengurangi keuntungan korporasi. Walaupun mengurangi keuntungan, praktek
illegal korporasi masih dapat terus berlanjut. Dengan kata lain, denda yang
dikenakan kepada korporasi hanya mengubah tindakan kejahatan korporasi dari
kesalahan terhadap masyarakat menjadi biaya dalam kegiatan bisnis Publisitas
atas keburukan korporasi juga dapat dilakukan sebagai sanksi atas kejahatan
korporasi. Namun sayangnya, hal tersebut membawa dampak yang tidak diinginkan.
Jika terjadi pemboikotan dari seluruh konsumen terhadap semua produk korporasi,
maka secara pidana, pengadilan berhasil mengadili korporasi tersebut.
Tetapi jika korporasi mengalami kerugiam yang besar,
maka korporasi akan mengurangi jumlah karyawannya sehingga akan banyak pekerja
yang kehilangan pekerjaannya. Beraneka ragam sanksi yang dikenakan kepada
korporasi seperti melalui denda, kompensasi dan ganti rugi, kerja sosial,
pengenaan perbaikan, publisitas keburukan, dan orientasi pengendalian, tidak
dapat menghentikan tindakan kejahatan yang dilakukan korporasi. Korporasi dapat
lolos dari sanksi-sanksi tersebut dengan mengorbankan pegawai mereka.
Sebagaimana vicarious liability dan identification, kejahatan yang dilakukan
korporasi juga merupakan tanggung jawab individu-individu di dalammnya.
Demikian juga, korporasi bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukan oleh
individu-individunya.
Jika suatu korporasi dikenai suatu hukuman atas
kejahatan, kepada siapa hukuman tersebut akan dikenakan? Jawaban yang masuk
akal adalah direktur perusahaan. Menurut ‘identification’, tanggung jawab
perusahaan sering
didasarkan atas kejahatan yang dilakukan direktur atau para eksekutifnya.
Sayangnya, hal itu akan terlihat sangat tidak adil bagi direktur yang selalu
menjalankan bisnisnya sesuai dengan hukum yang berlaku. Oleh karena itu
diperlukan adanya keseimbangan tanggung jawab terhadap kejahatan korporasi dari
direktur, eksekutif, manajer, dan karyawan. Setiap individu harus bertanggung
jawab baik secara moral maupun hukum atas keputusan dan tindakan mereka. Jika
seseorang melakukan tindakan kejahatna melalui perusahaan, maka tuntutan hukum
seharusnya dikenakan terhadap orang tersebut, bukan terhadap perusahaan,
terutama jika tindakan kejahatan tersebut tidak memberikan keuntungan terhadap
perusahaan. Perusahaan bertindak melalui individu tetapi individu juga
bertindak melalui perusahaan. Oleh karena itu, tanggung jawab atas suatu
tindakan kejahatan yang dilakuakan individu seharusnya tidak dilimpahkan kepada
perusahaan. Begitu juga sebaliknya.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kejahatan
korporasi adalah merupakan kejahatan yang besar dan sangat berbahaya sekaligus merugikan
kehidupan masyarakat, kendatipun di pihak lain ia juga memberi kemanfaatan bagi
kehidupan masyarakat dan negara. Keinginan korporasi untuk terus meningkatkan
keuntungan yang diperolehnya
mengakibatkan terjadinya tindakan pelanggaran hukum. Korporasi, sebagai suatu badan hukum,
memiliki kekuasaan yang besar dalam menjalankan aktivitasnya sehingga sering melakukan aktivitas
yang bertentangan dengan ketentuan
hukum yang berlaku, bahkan selalu merugikan berbagai pihak. Dikatakan “besar”,
oleh karena kompleksnya komponen-komponen yang bekerja dalam satu kesatuan
korporasi, sehingga metode pendekatan yang dilakukan terhadap korporasi tidak
bisa lagi dengan menggunakan metode pendekatan tradisional yang selama ini
berlaku dan dikenal dengan metode pendekatan terhadap kejahatan konvensional,
melainkan harus disesuaikan dengan kecanggihan dari korporasi itu sendiri,
demikian pula dengan masalah yang berkenaan dengan konstruksi yuridisnya juga
harus bergeser dari asas-asas yang tradisional kearah yang lebih dapat
menampung bagi kepentingan masyarakat luas, yaitu dalam rangka memberikan
perlindungan terhadap masyarakat.
Kejahatan
terorganisir, yang dalam literatur mendapat tempat dalam klasifikasi
tersendiri, tapi sebenarnya dalam pengertian yang lebih luas adalah merupakan
bagian dari kejahatan korporasi, korporasi adalah suatu organisasi, suatu
bentuk organisasi dengan tujuan tertentu yang bergerak dalam bidang ekonomi
atau bisnis, maka kita harus melihat kejahatan korporasi sebagai kejahatan yang
bersifat organisatoris, yaitu suatu kejahatan yang terjadi dalam konteks
hubungan-hubungan yang kompleks dan harapan-harapan diantara dewan direksi,
eksekutif dan manejer disuatu pihak dan diantara kantor pusat, bagian-bagian
dan cabang-cabang pada pihak lain.
Kendatipun
demikian, tidak berarti lalu kejahatan “warungan” tidak mendapat perhatian
lagi, akan tetapi harus terdapat perhatian lagi, akan tetapi harus terdapat
pemikiran yang proporsionalitas penanganan, sehingga tidak memberi kesan adanya
ketidakadilan penanganan. Artinya, kejahatan yang begitu membahayakan dan
merugikan masyarakat luas yang ditimbulkan oleh korporasi, namun tidak mendapat
penanganan sebagaimana mestinya, tapi dilain pihak, seperti yang selama ini
terjadi, kejahatan “warungan” justru mendapat perhatian secara serius dan
sungguh-sungguh. Dari apa yang diuraikan di atas adalah merupakan tantangan dan
sekaligus menjadi arah bagi pengembangan kriminologi Indonesia di masa
mendatang.
B. Saran
Untuk mencegah terjadinya kejahatan korporasi, perlu
diadakan aturan yang tegas baik berupa collective self-regulation maupun
individualized selfregulation. Namun penerapan collective self-regulation tidak
efektif karena pemerintah dan pengadilan harus terus memonitoring setiap
aktivitas korporasi, sementara korporasi berusaha untuk mengambil celah agar
aktivitas kejahatannya tidak terpantau oleh mereka.
Dengan demikian, cara yang paling baik untuk melawan
kejahatan korporasi adalah dengan mencegahnya sebelum terjadi yang dapat
dilakukan dengan adanya individualized self regulation di mana setiap
perusahaan bertangung jawab atas kebijakan mereka sendiri. Tidak sulit untuk
menemukan perusahaan yang mengatakan kepada masyarakat bahwa mereka memiliki
tanggung jawab sosial.
Namun banyak perusahaan yang menggunakan hal itu
sebagai suatu cara pemasaran untuk meningkatkan image, bahkan penjualan mereka.
Selain itu, terdapat berbagai macam perlakuan perusahaan atas nama tanggung
jawab sosial yang pada prakteknya sangat bertolak belakang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pastikan komentar anda adalah berupa pertanyaan, koreksi, atau hal serupa lainnya yang bermanfaat bagi anda atau pengguna lainnya dikemudian hari, komentar yang bersifat basa-basi sepert, thanks, semoga bermanfaat, atau hal serupa lainnya akan dihapus.