BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tiga
tahun sebelum menginjak abad XXI, terjadi peristiwa besar di
Indonesia mengawali abad yang dinantikan oleh seluruh masyarakat dunia.
Gerakan Reformasi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 demikian
dahsyat sehingga mampu menggulingkan pemerintahan Orde Baru, yang dianggap
sudah tidak populer untuk memjalankan pemerintahan Indoesia. Sejalan dengan
terjadinya gerakan Reformasi marak pula isu-isu heroik yang berkaitan
dengan penegakan demokrasi, upaya menghindari disintegrasi, upaya pembentukan
pemerintahan yang baik dan bersih, kredibilitas pemimpin, pemberantasan KKN
(korupsi, kolusi dan nepotisme), pemberdayaan masyarakat, pembangunan
berkelanjutan, pembentukan otonomi daerah , dan masih banyak isu-isu lainnya.
Gerakan
Reformasi yang gencar dan luas merupakan akumulasi dari carut-marut
pemerintahan yang sudah tidak sesuai dengan harapan masyarakat, ditambah dengan
krisis ekonomi yang parah. Akar kekacauan tersebut di atas adalah
pemerintah Orde Baru yang dianggap melaksanakan pemerintahan
sentralistik, otoriter dan korup. Dengan jatuhnya pemerintahan Orde Baru
semakin gencar pula tuntutan masyarakat, baik di tingkat elite pusat
maupun daerah untuk memberlakukan otonomi daerah secara lebih luas .
Otonomi
daerah sebagai suatu sistim pemerintahan di Indonesia yang desentralistis
bukan merupakan hal yang baru. Penyelenggaraan otonomi daerah sebenarnya sudah
diatur dalam UUD 1945. Walaupun demikian dalam perkembangannya selama ini
pelaksanaan otonomi daerah belum menampakkan hasil yang optimal. Setelah
gerakan Reformasi berlangsung dan pemerintahan Suharto jatuh, wacana untuk
mengoptimalkan pelaksanaan otonomi daerah terdengar kembali gaungnya, bahkan
lebih keras dan mendesak untuk segera dilaksanakan.
Tuntutan
masyarakat untuk mengoptimalkan pelaksanaan otonomi daerah disambut oleh
presiden Habibie sehingga kemudian ditetapkan Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan
disahkannya kedua undang-undang tersebut, maka terjadi perubahan paradigma,
yaitu dari pemerintahan sentralistis ke pemerintahan desentralistis.
Berdasarkan undang-undang otonomi daerah tersebut, pemberlakuan undang-undang
tersebut efektif dilaksanakan setelah dua tahun sejak ditetapkannya. Pada
masa pemerintahan presiden Abdurachman Wachid Undang-undang Otonomi Daerah
mulai diterapkan pada tanggal 1 Januari 2001.
1.2.
Rumusan Masalah
1. Bagaimanakan
Implementasi Penerapan Otonomi Daerah di Indonesia ?
2. Bagaimana
dampak pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia ?
3. Bagaimana
perubahan budaya dari akibat pelaksanaan otonomki daerah di Indonesia ?
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan
dari penulisan karya tulis ini yaitu untuk memenuhi tugas kuliah pada Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Ratu Samban Arga Makmur dalam
bentuk sebuah Makalah dan untuk menambah pengetahuan dan wawasan para pembaca,
masyarakat pada umumnya dan kalangan mahasiswa khususnya agar mengetahui
bagaimana Implementasi Penerapan Otonomi Daerah Di Indonesia.
1.4. Ruang lingkup
Karena
keterbatasan waktu dan banyaknya tugas kuliah yang ada maka ruang lingkup
makalah ini sangat singkat dan terbatas serta pembahasannya pun hanya seputar implentasi
penerapan otonomi daerah yang ada di Indonesia.
1.5. Metode penulisan
Dari
beberapa metode penulisan yang ada, penyusunan makalah ini penulis menggunakan
metode kepustakaan di mana selain mendapatkan materi makalahnya dari buku-buku mengenai
otonomi daerah dan UU Otonomi Daerah serta penulis juga menggunakan media
internet untuk mendukung data-data yang sudah ada, mengingat keterbatasan waktu
maka melalui internet data mudah didapatkan dan cepat serta efisien.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Pengertian Otonomi Daerah
Istilah
otonomi berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti sendiri dan namos yang
berarti Undang-undang atau aturan. Dengan demikian otonomi dapat diartikan
sebagai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri (Bayu
Suryaninrat ; 1985).
Beberapa
pendapat ahli yang dikutip Abdulrahman (1997) mengemukakan bahwa :
1. F.
Sugeng Istianto, mengartikan otonomi daerah sebagai hak dan wewenang untuk
mengatur dan mengurus rumah tangga daerah.
2. Ateng
Syarifuddin, mengemukakan bahwa otonomi mempunyai makna kebebasan atau
kemandirian tetapi bukan kemerdekaan. Kebebasan yang terbatas atau kemandirian
itu terwujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.
3. Syarif
Saleh, berpendapat bahwa otonomi daerah adalah hak mengatur dan memerintah
daerah sendiri. Hak mana diperoleh dari pemerintah pusat.
Pendapat
lain dikemukakan oleh Benyamin Hoesein (1993) bahwa otonomi daerah adalah
pemerintahan oleh dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu Negara
secara informal berada di luar pemerintah pusat. Sedangkan Philip Mahwood
(1983) mengemukakan bahwa otonomi daerah adalah suatu pemerintah daerah yang
mempunyai kewenangan sendiri yang keberadaannya terpisah dengan otoritas yang
diserahkan oleh pemerintah guna mengalokasikan sumber-sumber material yang
substansial tentang fungsi-fungsi yang berbeda.
Dengan
otonomi daerah tersebut, menurut Mariun (1979) bahwa dengan kebebasan yang
dimiliki pemerintah daerah memungkinkan untuk membuat inisiatif sendiri,
mengelola dan mengoptimalkan sumber daya daerah. Adanya kebebasan untuk
berinisiatif merupakan suatu dasar pemberian otonomi daerah, karena dasar
pemberian otonomi daerah adalah dapat berbuat sesuai dengan kebutuhan setempat.
Kebebasan
yang terbatas atau kemandirian tersebut adalah wujud kesempatan pemberian yang
harus dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, hak dan kewajiban serta kebebasan
bagi daerah untuk menyelenggarakan urusan-urusannya sepanjang sanggup untuk
melakukannya dan penekanannya lebih bersifat otonomi yang luas. Pendapat
tentang otonomi di atas, juga sejalan dengan yang dikemukakan Vincent Lemius
(1986) bahwa otonomi daerah merupakan kebebasan untuk mengambil keputusan
politik maupun administrasi, dengan tetap menghormati peraturan
perundang-undangan. Meskipun dalam otonomi daerah ada kebebasan untuk
menentukan apa yang menjadi kebutuhan daerah, tetapi dalam kebutuhan daerah
senantiasa disesuaikan dengan kepentingan nasional, ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
Terlepas
dari itu pendapat beberapa ahli yang telah dikemukakan di atas, dalam
Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 dinyatakan bahwa otonomi daerah adalah
kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Beranjak
dari rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah pada prinsipnya
mempunyai tiga aspek, yaitu :
1. Aspek
Hak dan Kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
2. Aspek
kewajiban untuk tetap mengikuti peraturan dan ketentuan dari pemerintahan di
atasnya, serta tetap berada dalam satu kerangka pemerintahan nasional.
3. Aspek
kemandirian dalam pengelolaan keuangan baik dari biaya sebagai perlimpahan
kewenangan dan pelaksanaan kewajiban, juga terutama kemampuan menggali sumber
pembiayaan sendiri.
Yang
dimaksud dengan hak dalam pengertian otonomi adalah adanya kebebasan pemerintah
daerah untuk mengatur rumah tangga, seperti dalam bidang kebijaksanaan,
pembiyaan serta perangkat pelaksanaannnya. Sedangkan kewajban harus mendorong
pelaksanaan pemerintah dan pembangunan nasional. Selanjutnya wewenang adalah
adanya kekuasaan pemerintah daerah untuk berinisiatif sendiri, menetapkan
kebijaksanaan sendiri, perencanaan sendiri serta mengelola keuangan sendiri.
Dengan
demikian, bila dikaji lebih jauh isi dan jiwa undang-undang Nomor 23 Tahun 2004,
maka otonomi daerah mempunyai arti bahwa daerah harus mampu :
1. Berinisiatif
sendiri yaitu harus mampu menyusun dan melaksanakan kebijaksanaan
sendiri.
2. Membuat
peraturan sendiri (PERDA) beserta peraturan pelaksanaannya.
3. Menggali
sumber-sumber keuangan sendiri.
4. Memiliki
alat pelaksana baik personil maupun sarana dan prasarananya.
2.2. Prinsip dan Tujuan Otonomi
Daerah
Otonomi
daerah dan daerah otonom, biasa rancu dipahami oleh masyarakat. Padahal
sebagaimana pengertian otonomi daerah di atas, jelas bahwa untuk menerapkan
otonomi daerah harus memiliki wilayah dengan batas administrasi pemerintahan
yang jelas.
Daerah
otonomi adalah wilayah administrasi pemerintahan dan kependudukan yang dikenal
dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan
demikian jenjang daerah otonom ada dua bagian, walau titik berat pelaksanaan
otonomi daerah dilimpahkan pada pemerintah kabupaten/kota. Adapun daerah
provinsi, berotonomi secara terbatas yakni menyangkut koordinasi antar/lintas
kabupaten/kota, serta kewenangan pusat yang dilimpahkan pada provinsi, dan
kewenangan kabupaten/kota yang belum mampu dilaksanakan maka diambil alih oleh
provinsi.
Secara
konsepsional, jika dicermati berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,
dengan tidak adanya perubahan struktur daerah otonom, maka memang masih lebih
banyak ingin mengatur pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota.
Disisi lain, pemerintah kabupaten/kota yang daerah otonomnya terbentuk hanya
berdasarkan kesejahteraan pemerintahan, maka akan sulit untuk berotonomi secara
nyata dan bertanggungjawab di masa mendatang.
Dalam
diktum menimbang huruf (b) Undang-undang Nomor 22 tahun 1999, dikatakan bahwa
dalam penyelenggaraan otonomi daerah, dipandang perlu untuk lebih menekankan
pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan
serta mempertimbangkan potensi dan keanekaragaman daerah.
Otonomi
daerah dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 adalah otonomi luas yaitu
adanya kewenangan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup
semua bidang pemerintahan kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri,
pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta
kewenangan-kewenangan bidang lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah. Di samping itu, keleluasaan otonomi maupun kewenangan yang utuh dan
bulat dalam penyelenggaraannya, mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, pengendalian dan evaluasi.
Dalam
penjelesan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dikatakan bahwa yang dimaksud
dengan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan
kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan
serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan
otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung jawaban
sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud
tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan
pemberian otonomi berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat
yang semakin baik, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan
daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Atas
dasar pemikiran di atas¸ maka prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah dalam Undang-Undang
Nomor 22 tahun 1999 adalah sebagai berikut :
a. Penyelenggaraan
otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan,
pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah yang terbatas.
b. Pelaksanaan
otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
c. Pelaksanaan
otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah Kabupaten dan daerah
kota, sedang otonomi daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas.
d. Pelaksanaan
otonomi daerah harus sesuai dengan kontribusi negara sehingga tetap terjalin
hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
e. Pelaksanaan
otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan karenanya
dalam daerah Kabupaten/ kota tidak ada lagi wilayah administrasi.
f. Pelaksanaan
otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif
daerah, baik fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas
penyelenggaraan pemerintah daerah.
g. Pelaksanaan
azas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam kedudukannya sebagai
wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan sebagai wakil daerah.
h. Pelaksanaan
azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepada daerah,
tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan
pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban
melaporkan pelaksanaan dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskannya.
Adapun
tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan
hasil guna penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan guna meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat.
Sejalan
dengan pendapat di atas, The Liang Gie dalam Abdurrahman (1987) mengemukakan
bahwa tujuan pemberian otonomi daerah adalah :
a. Mengemukakan
kesadaran bernegara/berpemerintah yang mendalam kepada rakyat diseluruh tanah
air Indonesia.
b. Melancarkan
penyerahan dana dan daya masyarakat di daerah terutama dalam bidang
perekonomian.
2.3.
Implementasi Penerapan Otonomi Daerah Di Indonesia
Otonomi
yang berasal dari kata autonomos (bahasa Yunani)
mempunyai pengertian mengatur diri sendiri. Pada hakekatnya otonomi daerah
adalah upaya untuk mensejahterakan masayarakat melalui pemberdayaan
potensi daerah secara optimal. Makna otonomi daerah adalah daerah mempunyai hak
, wewenang dan kewajiban untuk mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan
peraturan peundang-undangan yang berlaku (Pusat Bahasa , 2001 : 805).
Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 pasal 14 menyebutkan bahwa kewenangan daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan . Aspek “ prakarsa sendiri “ dalam otonomi daerah
memberikan “roh” pada penyelenggaraan pembangunan daerah yang lebih participatory. Tanpa
upaya untuk menumbuh-kembangkan prakarsa setempat, otonomi daerah yang
diharapkan dapat memberikan nuansa demokratisasi pembangunan daerah, akan
kehilangan makna terpentingnya.
Otonomi
yang luas sebenarnya merupakan penjabaran dari desentralisasi secara utuh.
Idealnya pelaksanaan otonomi yang luas harus disertai pula dengan
prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, pemberdayaan dan partisipasi
masyarakat, penggalian potensi dan keanekaragaman daerah yang difokuskan
pada peningkatan ekonomi di tingkat kabupaten dan kotamadia.
Implementasi
penerapan otonomi daerah dapat dilihat dari berbagai segi yaitu pertama,
dilihat dari segi wilayah (teritorial) harus berorientasi pada
pemberdayaan dan penggalian potensi daerah. Kedua, dari segi struktur tata
pemerintahan berorientasi pada pemberdayaan pemerintah daerah dalam mengelola
sumber-sumber daya yang dimilikinya secara bertanggung jawab dan memegang
prinsip-prinsip kesatuan negara dan bangsa. Ketiga, dari segi kemasyarakatan
berorientasi pada pemberdayaan dan pelibatan masyarakat dalam pembangunan
di berbagai daerah sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Undang-undang
dan peraturan tentang otonomi daerah sudah disusun sejak Indonesia merdeka .Hal
ini menunjukkan bahwa para pemimpin negara dari jaman Orde Lama, Orde Baru
sampai pemimpin negara saat ini sudah memikirkan betapa penting otonomi
daerah mengingat wilayah Indonesia yang demikian luas yang menjadi tanggung
jawab pemerintah. Pemberian otonomi kepada daerah pada dasarnya merupakan upaya
pemberdayaan dalam rangka mengelola pembangunan di daerahnya. Daerah diharapkan
sedikit demi sedikit mampu melepaskan ketergantungannya terhadap bantuan
pemerintah pusat dengan cara meningkatkan kreativitas, meningkatkan
inovasi dan meningkatkan kemandiriannya. Bila pelaksaan otonomi daerah
sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang telah disusun, maka harapan
indah untuk mewujudkan “daerah membangun“ (bukan membangun daerah), dapat
segera tercapai. Otonomi daerah memberikan harapan cerah kepada daerah
untuk lebih meningkatkan dayaguna dan hasilguna penyelenggaraan pemerintahan
dalam rangka memberikan efektifitas pelayanan kepada masyarakat .Hal lain
yang tidak kalah penting adalah daerah dapat melaksnakan fungsi-fungsi
pembangunan serta mengembangkan prakarsa masyarakat secara demokratis, sehingga
sasaran pembangunan diarahkan dan disesuaikan dengan kondisi dan permasalahan
yang ada di daerah.
Pada
kenyataannya sangat ironis bila pelaksanaan dan penerapan otonomi daerah sejak
Orde Lama, Orde Baru dan sampai saat ini tidak pernah tuntas.
Berbagai faktor penyebab pelaksanaan otonomi daerah yang tidak mulus adalah
karena distorsi kepentngan-kepentingan politik penguasa yang menyertai
penerapan otonomi daerah sehingga penguasa cenderung tetap melaksanakan
pemerintahan secara sentralistik dan otoriter. Selain itu
kepentingan-kepentingan politik para pemimpin negara untuk memerintah dan
berkuasa secara absolut dengan mempolitisir otonomi daerah mengakibatkan
otonomi daerah semakin tidak jelas tujuannya. Suatu contoh yaitu pada
masa pemerintahan presiden Suharto telah ditetapkan proyek percontohan untuk
menerapkan otonomi daerah di 26 daerah tingkat II berdasarkan Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1974, tetapi tidak ada hasilnya.
Penerapan
otonomi daerah melalui Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 saat ini masih
mencari bentuk, karena sikap pemerintah yang masih “ mendua “. Di satu pihak
pemerintah sadar bahwa otonomi daerah sudah sangat mendesak untuk segera
dilaksanakan secara tuntas, tetapi di lain pihak pemerintah juga berusaha tetap
mengendalikan daerah secara kuat pula. Hal ini terlihat pada
kewenangan-kewenangan yang cukup luas yang masih ditangani pemerintah
terutama yang sangat potensial sebagai sumber keuangan. Selain itu kewenangan
pemerintah yang lain , yang juga dapat mengancam pelaksanaan otonomi daerah
adalah otoritas pemerintah untuk mencabut otonomi yang telah diberikan
kepada daerah. Selama kurang lebih empat tahun sejak dicanangkannya
otonomi daerah di Indonesia, pemberdayaan daerah yang gencar diperjuangkan pada
kenyataannya belum dilaksanakan secara optimal. Pembangunan di daerah kurang
memperhatikan kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Keputusan-keputusan
pemerintah serta program-program pembangunan tidak menyertakan masyarakat,
sehingga program-program pembangunan di daerah cenderung masih bersifat top
down daripada bottom up planning .
Ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan agar otonomi daerah dapat terwujud.
Pertama, harus disadari bahwa otonomi daerah harus selalu diletakkan dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi daerah merupakan suatu
subsistem dalam satu sistem pemerintahan yang utuh. Kedua, perlu kemauan
politik (political will) dari semua pihak seperti pemerintah
pusat, pemerintah daerah dan masyarakat. Kemauan politik dari semua pihak
dapat memperkuat tujuan untuk membangun masyarakat Indonesia secara keseluruhan
melalui pembangunan-pembangunan daerah. Kemauan politik ini diharapkan dapat
membendung pemikiran primordial, parsial, etnosentris dan
sebagainya. Ketiga, komitmen yang tinggi dari berbagai pihak yang
berkepentingan sangat dibutuhkan agar pelaksanaan otonomi daerah dapat tercapai
tujuannya .
2.4.
Dampak Pelaksanaan Otonomi Daerah Di Indonesia
Selama
kurang lebih 60 tahun Indonesia medeka, otonomi daerah turut mengiringi pula
perjalanan bangsa Indonesia. Pada masa Orde Lama otonomi daerah belum
sepenuhnya dilaksanakan, karena pimpinan negara yang menerapkan demokrasi
terpimpin cenderung bersikap otoriter dan sentralistis dalam melaksanakan
pemerintahannya. Demikian pula pada masa pemerintahan Orde Baru dengan
demokrasi Pancasilanya, pelaksanaan pemerintahan masih cenderung bersifat
sentralistis dan otoriter . Selain itu pada kedua masa tersebut banyak terjadi distorsi
kebijakan yang terkait dengan otonomi daerah. Tentu saja kita belum dapat
melihat dampak dan pengaruh dari pelaksanaan otonomi daerah pada kedua masa
itu, karena pada kenyataannya otonomi daerah belum dilaksanakan sepenuhnya,
walaupun sudah banyak Undang-undang dan peraturan yang dibuat untuk
melaksanakan otonomi daerah tersebut.
Pada
masa Reformasi tuntutan untuk melaksanakan otonomi daerah sangat gencar
sehingga pemerintah secara serius pula menyusun kembali Undang-undang
yang mengatur otonom daerah yaitu Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah. Setelah 2 tahun memalui masa transisi dan
sosialisasi untuk melaksanakan kebijakan otonomi daerah tersebut,maka otonomi
daerah secara resmi berlaku sejak tanggal 1 Januari 2001, pada masa
pemerintahan presiden Abdurachaman Wachid. Setelah kurang lebih 4 tahun otonomi
daerah diberlakukan, dampak yang terlihat adalah muncul dua kelompok masyarakat
yang berbeda pandangan tentang otonomi daerah. Di satu sisi ada masyarakat
yang pasif dan pesimis terhadap keberhasilan kebijakan otonomi
daerah, mengingat pengalaman-pengalaman pelaksanaan otonomi daerah pada masa
lalu. Kelompok masyarakat ini tidak terlalu antusias memberikan dukungan
ataupun menuntut program-program yang telah ditetapkan dalam otonomi
daerah. Di sisi yang lain ada kelompok masyarakat yang sangat optimis
terhadap keberhasilan kebijakan otonomi daerah karena kebijakan ini cukup
aspiratif dan didukung oleh hampir seluruh daerah dan seluruh komponen.
Antusiasme
dan tuntutan untuk segera melaksanakan otonomi daerah juga berdatangan dari
kelompok-kelompok yang secara ekonomis dan politis mempunyai kepentingan
dengan pelaksanaan otonomi daerah. Selain itu masyarakat yang masih dipengaruhi
oleh euforia reformasi menganggap otonomi daerah adalah kebebasan tanpa batas
untuk melaksanakan pemerintahan sesuai dengan harapan dan dambaan mereka.
Masyarakat dari daerah yang kaya sumberdaya alamnya, tetapi tidak menikmati
hasil-hasil pembangunan selama ini, menganggap otonomi daerah memberikan
harapan cerah untuk meningkatkan kehidupan mereka. Harapan yang besar dalam
melaksanakan otonomi daerah telah mengakibatkan daerah-daerah saling berlomba
untuk menaikan pendapatan asli daerah (PAD). Berbagai contoh upaya gencar
daerah-daerah untuk meningkatkan PAD dengan cara yang paling mudah yaitu
dengan penarikan pajak dan retrebusi secara intensif. Contoh lain, tidak jarang
terjadi sengketa antar daerah yang memperebutkan batas wilayah yang mempunyai
potensi ekonomi yang tinggi. Perebutan sumber pendapatan daerah sering juga
terjadi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemikiran yang bersifat
regional, parsial, etnosentris, primordial , seringkali mewarnai pelaksanaan
otonomi daerah sehingga dikhawatirkan dapat menjadi benih disintegrasi bangsa.
Selain
dampak negatif dari pelaksanaan otonomi daerah seperti tersebut di atas, juga
ada dampak positif yang memberikaan harapan keberhasilan otonomi daerah.
Suasana di daerah-daerah dewasa ini cenderung saling berpacu untuk meningkatkan
potensi daerah dengan berbagai macam cara. Seluruh komponen masyarakat
mulai dari pemerintah daerah dan anggota masyarakat umumnya diharapkan dapat
mengembangkan kreativitasnya dan dapat melakukan inovasi diberbagai bidang .
Pengembangan dan inovsi bidang-bidang dan sumberdaya yang dahulu kurang menarik
perhatian untuk dikembangkan, sekarang dapat menjadi potensi andalan dari
daerah. Selain itu otonomi daerah memacu menumbuhkan demokratisasi dalam
kehidupan masyarakat, memacu kompetisi yang sehat, pendstribusian kekuasaan
sesuai dengan kompetensi .
2.5.
Perubahan Budaya Sebagai Akibat Pelaksanaan Otonomi Daerah Di Indonesia
Pelaksanaan
otonomi daerah di berbagai daerah di Indonesia telah menimbulkan dampak, baik
dampak positif maupun dampak negatif seperti beberapa contoh yang telah penulis
sebutkan di atas. Selain itu otonomi daerah juga telah membawa
perubahan-perubahan budaya dalam masyarakat Indonesia. Pengertian budaya atau
kebudayaan dalam arti luas menurut E.B.Tylor adalah kompleks yang mencakup
pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum, adat-istiadat dan kemampuan-kemampuan
lain serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan manusia sebagai anggota
masyarakat melalui proses belajar (Tylor dalam Soekanto , 1969 : 55).
Dalam pengertian sempit, kebudayaan diartikan sebagai hasil cipta, karya dan
karsa manusia untuk mengungkapkan hasratnya akan keindahan . Jadi pengertian
kebudayaan dalam arti sempit adalah berupa hasil-hasil kesenian.
Perubahan
kebudayaan yang akan dibahas dalam tulisan ini difokuskan pada bahasan kebudayaan
dalam arti luas, dalam arti perubahan perilaku pemerintah dan masyarakat
yang terkait dengan bidang politik, pemerintahan, ekonomi, sosial dan
sebagainya, walaupun bahasannya secara umum dan tidak mengupas seluruh
aspek dari bidang-bidang tersebut.
Sejalan
dengan tekat pemerintah untuk melaksanakan otonomi daerah, maka telah terjadi
perubahan-perubahan paradigma (Warseno dalam Ambardi dan Prihawantoro, 2002 :
181), yaitu antara lain :
o
Paradigma dari sentralisasi ke
desentralisasi
o
Paradigma kebijakan tertutup ke
kebijakan terbuka (transparan)
Paradigma
yang menjadikan masyarakat sebagai obyek pembangunan ke masyarakat yang menjadi
subyek pembangunan.
Paradigma
dari otonomi yang nyata dan bertanggungjawab ke otonomi yang luas, nyata dan
bertanggung jawab.
o
Paradikma dari organisasi yang tidak
efisien ke organisasi yang efisien .
o
Paradigma dari perencanaan dan
pelaksanaan program yang bersifat top down ke paradigma sistem
perencanaan campuran top down dan bottom- up.
Perubahan
paradigma ini juga merubah budaya masyarakat dalam melaksanakan kegiatannya
dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Perubahan paradigma pemerintahan
sentralisasi ke pemerintahan desentralisasi telah menyebabkan kebingungan pada
aparat pemerintah daerah yang sudah terbiasa menerima program-program yang
telah dirancang oleh pemerintah pusat. Sekarang mereka dituntut untuk
melaksanakan pemerintahan yang efisien dan berorientasi pada kualitas pelayanan
serta melibatkan partisipasi masyarakat.
Pemerintah
Daerah dituntut untuk secara mandiri melaksanakan aktivitas perencanaan,
pelaksanaan sampai pada pengawasan program pembanguan yang dilaksanakan di
daerahnya. Selain itu daerah dituntut kemampuannya untuk membiayai
sebagian besar kegiatan pembangunannya sehingga diperlukan sumberdaya manusia
yang berkualitas, kreatif, inovatif, yang diharapkan dapat menghasilkan
pemikiran , konsep dan kebijakan dalam rangka mencari sumber pembiayaan
pembangunan tersebut. Perubahan paradigma dalam waktu yang relatif singkat,
tentu saja belum membuat para aparat pemerintah daerah dan masyarakat memahami
sepenuhnya hakekat dan aturan-aturan pelaksanaan otonomi daerah. Walaupun
demikian sedikit demi sedikit aparat pemerintah daerah dan masyarakat mulai
belajar menyesuaikan diri dengan iklim otonomi daerah. Aktivitas yang mengarah
pada efisiensi dan upaya peningkatan kualitas pelayanan, inovasi dan
kreativitas dalam penggalian potensi daerah mulai digiatkan. Beberapa contoh
dapat disebutkan yaitu bahwa instansi-instansi pemerintah di daerah giat
mendorong para pegawainya untuk meningkatkan dan mengembangkan ketrampilan dan
keahliannya melalui peningkatan pendidikan, baik formal maupun non formal.
Contoh yang lain adalah pemangkasan prosedur birokrasi yang bertele-tele,
dengan tujuan untuk efisiensi .
Iklim
keterbukaan yang mewarnai otonomi daerah telah membawa perubahan pada perilaku
masyarakat yang semula tidak diberi kesempatan untuk mengetahui dan berperan
dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan kemudian diberi
kesempatan untuk terlibat dalam program-program pembangunan. Keadaan ini
kemudian melahirkan sikap-sikap yang kadang-kadang sangat berlebihan.
Masyarakat yang masih awam dengan penerapan sistim demokrasi menganggap bahwa
semua masalah pemerintahan juga harus dipertanggungjawabkan secara langsung
kepada mereka. Pada awal masa reformasi kita dapat melihat maraknya demonstrasi
masyarakat yang kadang-kadang sangat brutal dan kasar menuntut agar
pejabat-pejabat pemerintahan yang dianggap telah menyimpang dalam melaksanakan
tugas-tugas yang diamanatkan kepadanya diadili atau mengundurkan diri.
Masyarakat seolah-olah sudah tidak mempunyai kepercayaan kepada lembaga yang
dapat menyalurkan aspirasi mereka, sehingga tindakan main hakim sendiiri
menjadi pemandangan yang sangat umum. Sebagai contoh kita dapat melihat pada
peristiwa yang menimpa Bupati Temanggung yang baru-baru ini diminta oleh hampir
seluruh masyarakat Temanggung untuk mengundurkan diri, karena dianggap telah
melakukan korupsi. Bahkan para pegawai negeri di Temanggung melakukan
demonstrasi dan mogok kerja sebagai protes terhadap Bupati. Tentu saja kalau
kita melihat secara proporsional pada tindakan masyarakat terutama para pegawai
negeri, tindakan mogok kerja tersebut merupakan tindakan yang menyalahi aturan
dan dapat dikenakan sanksi karena para pegawai negeri tersebut mengemban tugas
pelayanan kepada masyarakat.
Otonomi
daerah yang bertujuan untuk pengelola daerah atas prakarsa sendiri dalam
beberpa bidang mulai menampakkan perubahan. Satu contoh di beberapa daerah
telah disusun hukum dan peraturan yang disesuaikan dengan kultur (budaya)
masyarakat dan perjalanan sejarah daerah tersebut. Ada beberapa contoh daerah
yang telah menyusun peraturan dan hukum berdasarkan syariat atau
hukum Islam. Baru-baru ini di Kabupaten Bireuen, Provinsi Nangroe Aceh
Darussalam (NAD) telah diberlakukan hukum cambuk kepada 15 orang terpidana yang
melakukan judi. Hukum cambuk yang mengundang pro-kontra ini dilaksanakan pada
tanggal 24 Juni 2005 . Pijakan hukum yang melandasi hukum cambuk adalah Undang-undang
Nomor 14/1999 Tentang Pelaksanaan Keistimewaan Provinsi Nangroe Aceh
Darussalam, Undang-undang Nomor 18/2001 Tentang Otonomi Khusus, dan Peraturan
Daerah (Perda) Nomor 5/2000 Tentang pelaksanaan Syariat Islam. Petunjuk
teknis pelaksanaan hukum cambuk bagi yang melanggar syariat Islam dituangkan
dalam Peraturan Gubernur Aceh Nomor 10/2005 sebagai pengganti Peraturan Daerah
(Qanun). Dalam Peraturan Gubernur ini setidaknya ditetapkan empat kasus yang
pelakunya bisa dikenai hukum cambuk, yaitu judi, berpasangan di tempat gelap
dengan orang yang bukan muhrimnya, minum minuman keras/mabuk dan berzina
(Gatra, Nomor 33, 2 Juli 2005). Hukum Cambuk yang dilaksanakan di Nangroe
Aceh Darussalam ini sebenarnya bukan bertujuan untuk mempertontonkan kesadisan
dan kekejaman dari penegak hukum di sana, melainkan untuk membuat jera para
pelaku tindak kraiminal dan agar masyarakat lebih berhati-hati serta
melaksanakan syariat Islam dengan baik dan benar.
Daerah
lain yang juga mulai menerapkan aturan berdasarkan syariat Islam
adalah Cianjur. Di sana telah disusun aturan yang menghimbau wanita
muslim mengenakan jilbab serta himbauan kepada suluruh muslim meninggalkan
pekerjaannya untuk segera menunaikan sholat ketika adhan berkumandang.
Pelangaran pada peraturan ini sementara berupa sanksi moral dan sanksi sosial.
Perilaku
masyarakat yang terkait dengan penggalian dan pengembangan
potensi ekonomi juga melahirkan sikap dan kultur berkreasi dan berinovasi
untuk menciptakan hal-hal baru. Dalam upaya meningkatkan daya saing ini
beberapa daerah harus memperhatikan potensi sumberdaya alam, sumberdaya
manusia, kultur dan pimpinan/pemegang kebijakan. Kalau tidak, maka akan terjadi
persaingan yang tidak sehat antara kelompok masyarakat di daerah
tersebut, persaingan antar daerah dan lain sebagainya. Bahkan tidak jarang
antar daerah saling berebut lahan atau sumber daya alam yang menjadi sumber
ekonomi . Kadang-kadang ambisi untuk meningkatkan PAD melahirkan sikap “ rakus
“ pada daerah-daerah.
Daerah-daerah
yang sangat minim sumberdaya alamnya dipacu untuk melihat lebih jeli
peluang-peluang di sektor ekonomi berskala kecil atau yang sering disebut
sebagai ekonomi kerakyatan (usaha kecil dan menengah). Dari pengalaman krisis
ekonomi yang dialami Indonesia pada tahun 1997, ekonomi rakyat dan sektor
informal mampu bertahan dan bahkan mampu menjadi penyangga (buffer) perekonomian
daerah , sehingga mampu menyelamatkan kehidupan rakyat ( Mubyarto, 2001 : 196).
Beberapa contoh daerah yang dapat menyesuaikan diri dengan keadaan setelah
krisis ekonomi dan tetap dapat bertahan dan dapat meningkatkan pertumbuhan
ekonominya adalah Kabupaten Sukoharjo dan Desa Banyuraden, Kecamatan Gamping,
Kabupaten Sleman. Kabupaten Sukoharjo selama krisis ekonomi tidak terkena
dampak yang berarti karena industri kecil dan sektor informal yang dikembangkan
di daerah tersebut tidak tergantung pada bahan baku import dan melayani pasar
lokal yang cukup luas.
Berbeda
dengan Kabupaten Sukoharjo, Desa Banyuraden Kabupaten Sleman berhasil memberdayakan
ekonomi masyarakat melalui pengelolaan dan pengolahan sampah, yang semula
menjadi sumber masalah lingkungan di desa tersebut. Desa Banyuraden berhasil
memanfaatkan sampah menjadi sumber ekonomi masyarakat dengan cara mengolah
sampah menjadi kompos atau pupuk organik dan dan barang kerajinan. Kita
tidak dapat memungkiri bahwa tidak semua daerah berhasil mengatasi krisis
ekonomi melalui pemberdayaan ekonomi rakyat. Banyak daerah terutama di luar
Jawa yang tidak memiliki sumberdaya ekonomi dan sumberdaya manusia yang memadai
patut mendapatkan perhatian yang lebih besar dari Pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat mereka.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Menginjak
abad XXI ada kebutuhan yang sangat mendesak untuk melaksanakan otonomi daerah.
Pengalaman masa lalu yang kurang menggembirakan dalam pelaksanaan otonomi
daerah diharapkan menjadi pegangan kuat untuk mewujudkan otonomi daerah sesuai
dengan hakekat dan tujuannya yang mulia. Pelaksanaan otonomi daerah bukan hal
yang menakutkan bila dipahami dengan benar dan proporsional. Banyak daerah yang
telah menunjukkan prospek yang menggembirakan.
Modal utama untuk mewujudkan
terlaksananya otonomi daerah secara baik dan benar adalah rasa percaya diri
yang besar dan komitmen yang tinggi dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah
dan masyarakat untuk tetap konsisten melaksanakan otonomi daerah. Melalui
otonomi daerah peluang untuk melaksanakan demokrasi ekonomi terbuka lebar,
sehingga ekonomi kerakyatan yang selama ini tidak mendapat perhatian, akan
mendapat perlindungan. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi kerakyatan harus
memotivasi masyarakat untuk berkreasi dan berinovasi agar daerah mempunyai daya
tahan dan daya saing di era globalisasi ini.
Budaya
dan perilaku yang muncul sebagai akibat euforia reformasi yang dapat
menimbulkan “kontra produktif” harus diarahkan menjadi kultur dan perilaku yang
produktif dan konstruktif untuk mewujudkan otonomi daerah yang sehat dan
seimbang. Demikian juga budaya-budaya yang sudah sejak lama tumbuh dalam
mayarakat seperti patron client, primordialisme,
etnosentrisme, harus dikendalikan dan diarahkan menjadi nilai positif
yang mendukung pembangunan daerah yang berlandaskan nilai-nilai religius,
gotong royong , tenggang rasa dan sebagainya.
Dalam
kurun waktu yang singkat tentu saja otonomi daerah yang diberlakukan sejak awal
tahun 2001 berdasarkan Undang-undang Nomor 22 /1999 masih menghadapi banyak
masalah dalam pelaksanaannya. Penerapan otonomi secara secara serentak di
seluruh wilayah Indonesia hendaknya terlebih dahulu tidak menerapkan otonomi
secara penuh, sebab banyak daerah-daerah di luar Jawa terutama yang belum siap
menghadapi otonomi daerah. Dengan demikian pelaksanaan otonomi daerah hendaknya
melalui pentahapan yang disesuaikan dengan sistim sosial-budaya masyarakat
daerah.
3.2. Saran
Dengan
adanya otonomi daerah diharapkan dapat membawa pemerataan dan keadilan dalam
pelaksanaan di masyarakat daerah khususnya kerana berhasil atau tidaknya
otonomi daerah tergantung pada daerah itu sendiri dan diharapkan juga dengan
adanya sistem desentralisasi dan otonomi daerah dapat menjamin terbukanya
partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerahnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mubyarto,
2000, Pemulihan Ekonomi Rakyat
Menuju Kemandirian Masyarakat Desa, Yogyakarta : Aditya Media.
2. Mubyarto,
2001, Prospek Otonomi Daerah dan
Perekonomian Indonesia Pasca Krisis, Yogyakarta : BPFE.
3. Nugroho
D., Riant, 2000, Otonomi Daerah
Desentralisasi Tanpa Revolusi : Kajian dan Kritik atas Kebijakan Desentralisasi
di Indonesia.Jakarta : PT Elex Media Kompetindo
4. Soemardjan, Selo (Ed.),2000, Menuju Tata Indonesia Baru,
Jakarta : PT Gramedia
5. UU No.22 tahun 1999 dan UU No.32 tahun 2004 , tentang Pemerintah Daerah.
6. Prof.Drs. HAW. Widjaja, 2005, penyelenggaraan otonomi daerah di
indonesia, Palembang : Rajawali Pers.
7. http://silahkanngintip.blogspot.com/2011/02/pengertian-prinsip-dan-tujuan-otonomi.html
diakses pada 10-04-2012,
11.00 wite.
8. http://fh.wisnuwardhana.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=59&Itemid=1 diakses pada 10-04-2012, 11.05 wite.
9. http://www.ditjen-otda.depdagri.go.id/index.php/22-isu-strategis-ruu-pemerintahan-daerah diakses 10-04-2012, 11.20 wite.
10. http://politik.kompasiana.com/2010/07/26/otonomi-daerah-di-indonesia/ diakses tanggal 10-04-2012, 11.23 wite.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pastikan komentar anda adalah berupa pertanyaan, koreksi, atau hal serupa lainnya yang bermanfaat bagi anda atau pengguna lainnya dikemudian hari, komentar yang bersifat basa-basi sepert, thanks, semoga bermanfaat, atau hal serupa lainnya akan dihapus.