BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Bengkulu atau dulu yang dikenal
sebagai Bencoolen, Benkoelen, Bengkulen atau Bangkahulu adalah
sebuah wilayah yang terletak di Pulau Sumatera, Indonesia. Di sebelah utara
berbatasan dengan Sumatra Barat, di sebelah timur dengan Jambi dan Sumatra Selatan sedangkan di sebelah selatan dengan
Lampung. Nama “Bencoolen” diperkirakan diambil dari sebuah nama bukit di Cullen,
Skotlandia, Bin of Cullen (atau variasinya, Ben Cullen).
Penamaan ini kurang berdasar karena bukanlah tabiat bangsa Melayu untuk
menamakan daerahnya dengan nama daerah yang tidak dikenal apalagi
asal nama itu dari Skotlandia yang jauh disana. Sumber tradisional menyebutkan
bahwa Bengkulu atau Bangkahulu berasal dari kata ‘Bangkai’ dan ‘Hulu’ yang
maksudnya ‘bangkai di hulu’.
Konon menurut cerita, dulu
pernah terjadi perang antara kerajaan-kerajaan kecil yang ada di Bengkulu. dan
dari pertempuran itu banyak menimbulkan korban dari kedua belak pihak di hulu
sungai Bengkulu. Korban-korban perang inilah yang menjadi bangkai tak
terkuburkan di hulu sungai tersebut maka tersohorlah sebutan Bangkaihulu yang
lama-kelamaan berubah pengucapan menjadi Bangkahulu atau Bengkulu. Penamaan
seperti ini mirip dengan kisah perang antara pasukan Majapahit dengan pasukan
Pagaruyung di Padang Sibusuk, daerah sekitar bekas wilayah kerajaan
Dharmasraya, yang juga mengisahkan bahwa penamaan Padang Sibusuk itu dari
korban-korban perang yang membusuk di medan perang.
Di wilayah Bengkulu
sekarang pernah berdiri kerajaan-kerajaan yang berdasarkan etnis seperti
Kerajaan Sungai Serut, Kerajaan Selebar, Kerajaan Pat Petulai, Kerajaan Balai
Buntar, Kerajaan Sungai Lemau, Kerajaan Sekiris, Kerajaan Gedung Agung, dan
Kerajaan Marau Riang. Di bawah Kesultanan Banten, mereka menjadi vazal.
Sebagian wilayah Bengkulu, juga pernah berada dibawah kekuasaan Kerajaan
Inderapura semenjak abad ke-17. British East India Company (EIC) sejak 1685 mendirikan
pusat perdagangan lada
Bencoolen dan kemudian gudang penyimpanan
di tempat yang sekarang menjadi Kota Bengkulu. Saat itu, ekspedisi EIC dipimpin
oleh Ralph Ord dan William Cowley untuk mencari pengganti pusat perdagangan
lada setelah Pelabuhan Banten jatuh ke tangan VOC, dan EIC dilarang berdagang
di sana. Traktat dengan Kerajaan Selebar pada tanggal 12 Juli 1685 mengizinkan
Inggris untuk mendirikan benteng dan berbagai gedung perdagangan. Benteng York
didirikan tahun 1685 di sekitar muara Sungai Serut. Sejak 1713, dibangun
benteng Marlborough (selesai 1719) yang hingga sekarang masih tegak berdiri.
Namun demikian, perusahaan ini lama kelamaan menyadari tempat itu tidak
menguntungkan karena tidak bisa menghasilkan lada dalam jumlah mencukupi. Sejak
dilaksanakannya Perjanjian London pada tahun 1824, Bengkulu diserahkan ke
Belanda, dengan imbalan Malaka sekaligus penegasan atas kepemilikan
Tumasik/Singapura dan Pulau Belitung). Sejak perjanjian itu Bengkulu menjadi
bagian dari Hindia Belanda.
1.2.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
kerajaan-kerajaan di Bengkulu ?
2.
Bagaimana
masuknya pengaruh Inggris di Bengkulu ?
3.
Bagaimana
berkuasanya Belanda atas Bengkulu ?
4.
Bagaimana
perlawanan masyarakt Bengkulu melawan kekuasaan Belanda ?
1.3.
Tujuan
1. Dapat mengetahui sejarah
kerajaan-kerajan di Bengkulu.
2. Mengetahui masuknya pengaruh Inggris
dan berkuasanya Belanda di Bengkulu.
3. Mengetahui bentuk perlawanan terhadap
kekuasan Belanda di Bengkulu.
1.4.
Metode Penulisan
Sebagian
besar data diambil melalui browsing mengunakan media Internet dan sumber-sumber lain yang dapat dijadikan referensi dalam pembuatan makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Kerajaan-Kerajaan di Bengkulu
Pada
masa sebelum tahun 1685, di wilayah Bengkulu sekarang terdapat beberapa
kerajaan kecil, yaitu disamping Kerajaan Empat Petulai, yang juga terkenal
dengan Kerajaan Depati Tiang Empat dengan Rajo Depatinya di Pegunungan Bukit
Barisan di daerah Rejang Lebong serkarang, ada di bagian pesisir Bengkulu
Kerajaan Sungai Serut di Bengkulu, Kerajaan Selebar di daerah Lembak Bengkulu
Utara, Kerajan Sungai Lemau di daerah Pondok Kelapa Bengkulu Utara, dan
Kerajaan anak Sungai di daerah Muko-Muko.
Kerajaan-kerajaan
kecil tersebut, tidak terbentuk suatu Negara dengan kekuasaan mutlak. Kerajaan
itu terdiri dari dusun-dusun yang dipimpin oleh seorang kepala yang dipilih
oleh para penduduknya dan para kepala dusun secara sukarela menggabungkan diri
pada kerajaan, dimana Raja adalah lambang kesatuan. Sebelum Inggris datang ke
Bengkulu, di Bengkulu sudah ada Kerajaan-kerajaan yaitu Kerajaan Sungai Serut
dan Kerajaan Sungai Lemau. Kerajaan Sungai Serut didirikan oleh Bintang Roano
yang terkenal dengan gelar Ratu Agung yang berasal dari Kerajaan Majapahit,
sedangkan Kerajaan Sungai Lemau dengan Rajanya Datuk Bagindo Maharaja Sakti
yang berasal dari Kerajaan Pagaruyung Sumatera Barat.
Menurut naskah Melayu di
pesisir Barat Sumatera terdapat satu kerajaan kecil Sungai Serut yang
berkedudukan di sekitar muara Sungai Serut, yaitu mudik kualo air (Sungai)
Bengkulu. Sekarang di sebelah kanan disebut dengan Bengkulu Tinggi.
Sungai Serut adalah sebuah sungai yang cukup panjang dan lebar sehingga
memudahkan transportasi ke pedalaman dan membawa hasil hutan ke muara. Raja
pertama kerajaan ini adalah Ratu Agung. Menurut kepercayaan rakyat saat
itu, Ratu Agung adalah Dewa dari Gunung Bungkuk yang sakti. Salah seorang dari
Ratu Agung yang bernama Putri Gading Cempaka memiliki wajah yang sangat cantik
dan menawan hati bagi setiap orang yang memandangnya, sehingga rona
kecantikannya ini tersiar sampai ke Negeri Aceh. Oleh karena kecantikannya ini
pulala seorang putra raja Aceh datang untuk meminang Putri Gading Cempaka.
Setelah lamaran (pinangan) putra Raja Aceh tersebut diterima oleh Ratu Agung,
Putra Raja Aceh Kembali ke Negerinya, akan tetapi ketika Putra Raja Aceh datang
lagi ke Kerajaan Sungai Serut untuk melaksanakan pernikahan dengan Putri Gading
Cempaka, Ayahanda dari Putri gading Cempaka yaitu Ratu Agung baru saja
meninggal dunia. Karena Karajaan Sungai Serut masih dalam suasana
berkabung, rencana pernikahan terpaksa ditolak oleh kakak Putri Gading Cempaka
yang bernama Raja Anak Dalam Muaro Bangkahulu yang menggantikan Ayahandanya
sebagai Raja Sungai Serut. Mendapat penolakan itu, Raja Aceh sangat tersinggung
dan terjadilah perang antara Kerajaan Sungai Serut dengan pasukan Raja Aceh.
Dalam perang yang tidak seimbang, karena laskar Raja Aceh lebih banyak dan
lebih siap, maka kerajaan Sungai Serut hanya mampu bertahan dengan membuat
empang (blokade) ke hulu.
Dengan taktik blokade atau
empang ke hulu Sungai Serut, tentara Aceh dapat dikalahkan dan akhirnya kembali
ke Aceh. Keberhasilan membuat empang ke hulu inilah yang akhirnya diabadikan
menjadi Bangkahulu yang lazimnya disebut masyarakat setempat menjadi Bengkulu.
Peristiwa ini terjadi pada tahun 1615 masehi. Seusai perang, Kerajaan Sungai
Serut meninggalkan Kerajaan yang sudah hancur dan pindah ke dusun Rindu Hati
dan Gunung Bungkuk. Beberapa tahun kemudian keluarga kerajaan ini turun gunung
dan membuat daerah pemukiman baru di Muara Sungai Serut. Putri Gading Cempaka
akhirnya menikah dengan Datuk Bagindo Maharajo Sakti dari Kerajaan Pagaruyung
Sumatera Barat. Bandar muara sungai serut berganti nama menjadi Bandar Muara
Bangkahulu.
Sejak pengaruh dari
Kerajaan Banten, agama Islam masuk ke Bengkulu. Pada abad ke XVII
berkembang pula pengaruh dari Kerajaan Aceh dari utara melalui hubungan dagang,
terutama perdagangan lada. Jika menilik kepada sejarah Banten yang
memberitahukan bahwa Sultan Maulana Hasanuddin (1546-1570), putra Sultan
Gunungjati yang kawin dengan Pangeran Ratu Nyawa (putri Sultan Demak),
mempunyai seorang putra yang bernama Ratu Agung. Maka dapat diambil
kesimpulan bahwa Ratu Agung tidak berasal dari Majapahit, tetapi sebenarnya
dari Banten. Sebagai seorang pangeran merangkap pedagang, ia mengumpulkan
lada di Sungai Serut. Ia membina satu kerajaan Sungai Serut yang
mengumpulkan hasil bumi dari pedalaman, terutama lada untuk Banten. Pendapat ini
diperkuat oleh peristiwa bahwa yang menggantikan Sultan Maulana Hasanuddin
(raja pertama Banten) bukan putranya Ratu Agung tetapi orang lain. Usai
Sultan Maulana Hasanuddin memimpin, ia digantikan Pangeran Yusup (1570-1580),
Muhammad Pangeran Sedangrana (1580-1596), Pangeran Abdul Kadir (1596 – 1651)
dan Abdul Fatah Sultan Agung (1951-1682). Peristiwa pemakaman Ratu Agung
secara Islam disebut dalam tambo Bengkulu, karangan Hassan Delais. Di Tambo itu
dikatakan, bahwa Bilal, Khatib dan Qadi hadir di wafatnya Ratu Agung.
Beliau di makamkan di Bengkulu Tinggi yang sekarang terkanal dengan nama
Keramat Batu Menjolo.
Kerajaan Islam Banten
sebagai negara maritim sejak awal abad XVI menduduki tempat penting dalam
perdagangan di pantai barat Sumatera. Bahkan pada akhir abad XVI Banten
merupakan bandar besar di sebelah barat Pulau Jawa, sebagai pusat perdagangan
internasional, dimana hadir pedagang Portugis, Belanda, Inggris, Arab, Turki,
Persi, Cina, Keling, Pegu, Malaya, Bengal, Gujarat dan daerah Nusantara (Bugis,
Jawa Melayu dan lain-lain). Banten sebagai kerajaan pesisir mementingkan
pelayaran dan perdagangan di mana raja dan keluarga turut mengambil bagian.
Kerajaan Sungai Serut ini diperkirakan muncul pertengahan abah XVI.
Pasalnya Sultan Banten Hasanudin melakukan perjalanan bersama Ratu Balo dan Ki
Jongjo ke Lampung, Indrapura, Selebar dan Bengkulu. Sultan Banten Hasanuddin
kawin dengan seorang putri dari Sultan Indrapura dan menerima hadiah perkawinan
daerah pantai barat Sumatera sejauh Air Itam ke Utara. Dengan ikatan
perkawinan ini, mulailah pengaruh Kerajaan Banten atau daerah pesisir barat
Sumatera tersebut.
2.2. Masuknya Pengaruh
Inggris di Bengkulu
Pada tahun 1682, Belanda (VOC) mampu mengungguli The Honourable East India Company (EIC), khususnya setelah tercapai kesepakatan antara VOC dengan kerajaan Banten mengenai monopoli perdagangan rempah-rempah. Hal ini memaksa EIC keluar dari Jawa dan harus mencari tempat pangkalan baru yang secara politik dan militer dapat menguntungkan mereka dalam perdagangan rempah-rempah. Pada awalnya mereka berkeinginan untuk mendirikan perusahaan dagang di Aceh, namun keinginan ini ditolak oleh Ratu Aceh, Sultana Zaqiyat -ud-udin Inayat Shah. Penolakan ini membuat EIC berpaling ke wilayah lain yang bersedia untuk menerima mereka, yakni Pariaman dan
Barus di Sumatera Barat. Keinginan
kedua wilayah ini untuk menerima EIC didorong oleh ketakutan terhadap kekuatan
Belanda yang sangat agresif. Namun pada akhirnya pilihan EIC jatuh kepada
Bengkulu.
Inggris menginjakkan kaki di Bengkulu pada tahun 1685 yang dipimpin oleh Kapten
J. Andrew dengan menggunakan 3 buah kapal yang bernama The Caesar, The
Resolution dan The Defance. Pelabuhan waktu itu ada di kuala Sungai Bengkulu.
Dengan cara terhormat Inggris menyampaikan maksud dan kedatangannya untuk mengadakan
kontak perdagangan. Kedatangan Inggris disambut oleh Pangeran Muda atau Depati
Bangsa Raja dengan upacara kehormatan. Inggris menghadiahkan kepada Pangeran
Muda 8 pucuk meriam yang terdiri dari 4 macam pucuk meriam kecil dan 4 pucuk
meriam besar. Pangeran Raja Muda mengadakan suatu naskah perjanjian dengan
Kompeni Inggris yang ditandatangani oleh kedua belah pihak. Dalam beberapa
pertemuan selanjutnya pihak Inggris memperoleh izin untuk mendirikan faktori di
Bengkulu dan menjalin hubungan dagang dengan para penguasa Bengkulu. Pangkalan
pertama yang didirikan oleh Inggris di Bengkulu adalah benteng Fort
York. Sejak saat itu Inggris menamakan faktori dagang mereka di Bengkulu
sebagai Garnizun EIC di Pantai Barat pulau Sumatera (The Honourable
East India Company’s Garrison on the West Coast of Sumatra).
Pada
tahun 1714 kondisi Fort York menjadi kritis. Bangunan benteng
dan barak-barak telah semakin rapuh, dan air hujan secara terus-menerus
membasahi ruangan-ruangan tempat tinggal para penghuni. Selain itu, kondisi
bahan makanan yang dikonsumsi oleh tentara Inggris
sangat buruk sehingga disiplin para prajurit dan
pegawai benteng menjadi turun. Berbagai macam penyakit,
umumnya disentri dan malaria,
telah menyebabkan sebagian besar prajurit garnizun tidak dapat melaksanakan
tugas mereka. Joseph Collet yang menjadi pimpinan Garnizun di Bengkulu pada
tahun 1712 menarik kesimpulan bahwa Fort York membutuhkan
perbaikan-perbaikan besar dan lokasi benteng itu sebenarnya tidak tepat. Oleh
sebab itu pada tanggal 27 Februari 1712, Joseph Collet
baru di tempat yang disebut Carrang.
Lokasi Carrang yang diusulkan oleh Joseph Collet terletak sekitar dua mil dari Fort
York (orang Bengkulu menyebutnya Ujung Karang). Usul Joseph Collet
untuk membangun benteng baru disetujui oleh Dewan Direktur EIC dan pembangunan
benteng baru tersebut dimulai pada tahun 1714. Benteng baru yang dibangun
di Carrang diberi nama Marlborough. Nama ini
dipilih oleh Joseph Collet untuk menghormati John Churchill, seorang komandan
ternama Inggris yang pernah memenangkan pertempuran di Blenheim pada tahun 1704, Rammiliespada tahun 1706, Oudenarde pada tahun 1708, dan Malplaquet pada tahun 1709. Atas
jasa-jasanya ini John Churchill kemudian diberi gelar Duke
of Marlborough. Benteng baru yang dibangun oleh Joseph Collet ini kemudian
dikenal dengan nama Fort Marlborough. Pembangunan Fort
Marlborough selesai seluruhnya pada tahun 1741.
Benteng Marlborough
Kehadiran Inggris di
Bengkulu berlangsung selama 140 tahun, yaitu dari tahun 1685 sampai dengan
bulan Maret 1825, ketika seluruh kekuatan Inggris meninggalkan Bengkulu.
Berakhirnya kehadiran Inggris di Bengkulu adalah disebabkan adanya perjanjian
antara Raja Inggris dan Raja Belanda, yang ditanda-tangani pada tanggal 17
Maret 1824. Perjanjian ini oleh pihak Inggris disebut The Anglo-Dutch
Treaty of 1824, sedangkan pihak Belanda menyebutnya sebagai Traktat London.
Perjanjian ini mengatur pertukaran kekuasaan Inggris di Bengkulu dengan
kekuasaan Belanda di Melaka dan Singapura
2.3. Berkuasanya Belanda
atas Bengkulu
Setelah pelaksanaan serah terima antara pemerintahan jajahan Inggris dan pemerintah jajahan Belanda, pihak pemerintahan Inggris telah menarik semua pajabat-pejabatnya yang menduduki atau menguasai daerah yang berada di bawah pengawasannya, diganti oleh pejabat-pejabat dari pemerintahan jajahan Belanda. Pada waktu itu perdagangan lada sedang menurun. Tindakan pertama yang dilakukan oleh pemerintahan Hindia Belanda adalah mengumumkan tentang cara pembelian lada. Terlihat sedikit ada kemajuan dalam perdagangan lada, namun pada pertengahan abad 19 mengalami kemerosotan kembali. Pada tahun 1833, pemerintah Hindia Belanda menggunakan peraturan tanam paksa bagi komoditi kopi. Peraturan tanam paksa ini tidak menunjukkan hasil yang memuaskan, hanya meraih sedikit keuntungan di wilayah Krui. Selanjutnya pada tahun 1870, sistem tanam paksa untuk lada dan kopi dihapuskan. Untuk mengisi kas negara, rakyat dikenai pajak kepala.
Pada zaman pemerintahan
Hindia Belanda, mula-mula (pada tahun 1838) Bengkulu merupakan Afdeling Bengkulu
dan dibagi menjadi 9 onder-afdeling yakni :
1. Muko-muko
dengan 5 distrik
2. Lais
dengan 5 distrik
3. Bengkulu
4. Sekitar
Bengkulu
5. Manna
dengan 5 distrik
6. Kaur
dengan 7 distrik
7. Krui
dengan 13 distrik
8. Ampat
Lawang, termasuk Rejang Musi
Pada tahun 1838
pemerintahan Hindia Belanda belum mengadakan suatu pengamatan penelitian (opname)
di Ampat Lawang dan Rejang Musi. Pada tahun 1878 Bengkulu ditingkatkan menjadi
Residensi Bengkulu. Sistem pemerintah Hindia Belanda yang bercorak pembagian teritorial
sentralisasi dengan pimpinan pegawai negeri, tentu tidak sepenuhnya bercorak
sama dengan susunan adat di Bengkulu, sehingga hubungan antara rakyat kerajaan
di Bengkulu dengan orang-orang asing dari pemerintah Hindia Belanda seringkali
tidak harmonis dan menjadi buruk hingga menimbulkan berbagai perlawanan melawan
pemerintah Hindia Belanda.
2.4. Perlawanan Melawan
Kekuasaan Belanda
Selama pemerintahan
Asisten Residen J.H. Knoerle (1831-1833), posisi elite pribumi Bengkulu
semakin terjepit. Dengan diaktifkannya para pegawai Eropa yang menduduki posisi
sebagai posthouder, maka kekuasaan para kepala pribumi di wilayah
luar ibukota semakin terbatas karena mendapat kontrol yang ketat. Tekanan dan
intervensi terhadap kehidupan tradisional elite pribumi semakin dirasakan
terutama yang berkaitan dengan lembaga adat yang sudah mapan. Penghapusan gelar
kepangeranan, penghapusan hak-hak tradisional para kepala pribumi yang
sudah mengakar, serta mereformasi sistem pengadilan tradisional yang sudah
mapan, jelas merugikan posisi elite pribumi Bengkulu. Menurutnya, pemakaian
gelar pangeran bagi para kepala pribumi Bengkulu tidak perlu diteruskan karena
tidak ada fungsinya, serta tidak bermanfaat bagi masyarakat, dan pemerintah
Belanda, kecuali gelar regent (bupati), bagi mereka yang telah
diangkatnya.
Tampaknya, J.H. Knoerle tidak hanya
menghapuskan gelar pangeran kepada penggantinya Pangeran Linggang Alam dari
Sungai Lemau, tetapi sekaligus juga memotong tunjangan gaji tetapnya dari f.
706 (termasuk pelepasan haknya atas gelanggang adu ayam sebesar F.106) hingga
menjadi f. 200 per bulannya. Selanjutnya semenjak meninggalnya Pangeran
Khalipah Ajah (Khalipa Raja) dari Sungai Itam pada bulan September 1829,
kekuasaannya sementara dibebankan kepada kedua anak laki-lakinya, sampai
keduanya menentukan sendiri siapa di antaranya yang berhak menggantikannya.
Demikian halnya dengan Pangeran Sungai Lemau. Tunjangan gaji Pangeran Sungai
Lemau juga disunatnya. Gajinya yang semula f. 400 per bulan dipotong
hingga menjadi f. 140 per bulan. Sementara itu, gaji para kepala distrik,
seperti Kepala Distrik Andalas Sungai Keruh, Kepala Distrik Lima Buah Badak,
dan Kepala Distrik Sillebar, hanya mendapatkan gaji sebesar f. 40 per bulan.
Kecuali Kepala Distrik Lais, Raden Muhammad Zein, masih mendapat tunjangan gaji
sebesar f. 100 per bulannya. Demikian pula
dengan penghulu (kepala) orang asing, yaitu Daeng Mabella, yang
semula menerima tunjangan bulanan sebesar f. 600, kemudian dipotong
hingga menjadi f. 150 per bulan. Akan tetapi setelah Daeng Mabella
meninggal dunia, tepatnya pada tanggal 7 Agustus 1832, jabatan penghulu
orang asing dibiarkan kosong dengan alasan Daeng Mabella tidak mempunyai
keturunan yang sah.
Sementara itu Bupati
Muko-Muko, Sultan Khalifatullah Hidayat Syah (Tuanku Seri Maharaja
Chalipatullah Indiyat Shah), juga tak luput dari pemangkasan
tunjangan bulanannya. Tunjangan bulanannya yang semula diterima
sebesar f. 600 perbulan, kini dipangkas menjadi f. 150 per bulan.
Bahkan di wilayah Muko-Muko telah di tempatkan seorang controleer yang
dibantu oleh 22 orang Opas(polisi Belanda), yang secara tidak
langsung juga untuk mengontrol dan mengurangi ruang gerak kekuasaan Sultan
Muko-Muko. Nasib Sultan Muko-Muko bahkan lebih tragis dibanding dengan nasib
para bupati lainnya (Pangeran Sungai Lemau dan Pangeran Sungai Itam). Laporan
de Perez yang disampaikan kepada Dewan Hindia, Komisaris Pemerintah untuk
Sumatra di Batavia, menyebutkan bahwa Knoerle telah menurunkan Bupati
Muko-Muko, karena dianggap menindas rakyatnya. Bupati Muko-Muko tersebut
kemudian di bawa ke ibukota Bengkulu, dan akhirnya meninggal di Bengkulu pada
awal tahun 1834.
Posisi para bupati, serta
para kepala pribumi lainnya, termasuk anak keturunannya benar-benar mendapat
tekanan yang berat selama masa pemerintahan Belanda di bawah kepemimpinan
Asisten Residen J.H. Knoerle. Reformasi di bidang hukum (pengadilan) yang
dilaksanakan oleh J.H. Knoerle tidak hanya berdampak bagi surutnya pendapatan
bagi para kepala pribumi dan anak keturunannya, tetapi juga membawa akibat
jatuhnya prestise mereka di dalam masyarakat tradisionalnya. Sebaliknya,
J.H. Knoerle menganggap bahwa golongan anak raja (anak keturunan elite
pribumi) sangat berbahaya bagi masyarakat, dan merugikan pemerintah Belanda.
Dalam sistem pengadilan sebelumnya, golongan anak raja ini selalu lepas dari
jeratan tindak pidana kriminal, meskipun telah melakukan pelanggaran tindak
kriminal. Oleh sebab itulah, Knoerle lalu menerapkan sistem pengadilan yang
keras terhadap mereka. Beberapa dari mereka ada yang terkena vonis hukuman
mati, dan dipecat dari pekerjaannya, serta ada pula yang dibuang ke Pulau Jawa.
Tindakan Knoerle yang
terlalu keras terhadap para kepala pribumi dan tradisinya ini jelas
bertentangan dengan kebijaksanaan politik pemerintah kolonial Belanda itu
sendiri. Dalam hal ini, Komisaris Jendral Van Der Capellen pernah
menginstruksikan agar para pegawai Eropa memperkokoh posisi para bupati
serta mendukung sistem pewarisan jabatannya. Instruksi itu kemudian dituangkan
melalui Surat Keputusan Gubernur Batavia tertanggal 21 Desember 1827 Nomor 15.
Intinya menganjurkan agar para pegawai Eropa menyambut para bupati dan para
kepala pribumi lainnnya dengan ramah-tamah, serta memperlakukan dengan penuh
hormat sesuai dengan kedudukan dan jabatannya. Hal ini perlu dilakukan untuk
menjaga stabilitas keamanan serta memupuk rasa persahabatan baik dengan para
kepala pribumi maupun dengan rakyat bawahannya. Tindakan keras yang dilakukan
oleh Knoerle ini juga mendapat kecaman dari Francis, pengganti sementara
setelah kematian Knoerle. Menurut Francis, penghapusan lembaga adat daerah,
seperti penghapusan gelar kepangeranan, serta hak-hak tradisional para kepala
pribumi di Bengkulu, tidak hanya memutuskan ikatan pemerintahan tradisional
dengan pemerintah Belanda, tetapi juga akan menimbulkan gejolak
sosial. Selanjutnya, Francis juga memberikan komentarnya
mengenai penyebab terbunuhnya Asisten Residen Knoerle. Dikatakan, bahwa
akibat tindakannya yang terburu-buru itu telah menimbulkan berbagai macam
persoalan yang dihadapinya, sehingga Knoerle harus menebus dengan nyawanya.
Posisi para kepala pribumi dan anak
keturunannya justru semakin tertekan kehidupan tradisionalnya. Intervensi yang
terlalu mendalam dalam kehidupan tradisional para kepala pribumi telah
menimbulkan sikap antipati. Sikap antipati para kepala pribumi ini jelas sangat
merugikan pemerintah kolonial Belanda dalam rangka eksploitasinya. Akibat
intervensi yang terlalu mendalam terhadap kehidupan tradisional para kepala
pribumi serta tindakan yang sewenang-wenang itulah yang diduga kuat telah
membawa kematian Knoerle. Peristiwa terbunuhnya Asisten Residen Knoerle
ini telah mengundang perhatian serius pemerintah pusat Batavia. Komisaris
Jendral Van den Bosch selaku peletak dasar dari sistem tanam paksa pun datang
ke Bengkulu untuk mempelajari kasus itu. Setelah dipelajari dengan
seksama, akhirnya diputuskan untuk tidak akan mengambil tindakan yang
kerasterhadap para kepala pribumi dan rakyatnya yang telah terlibat dalam
pembunuhan itu. Sebaliknya, van den Bosch menyarankan agar para pegawai Eropa
lebih berhati-hati serta bersikap lunak terhadap para kepala pribumi dan
penduduk Bengkulu.
Selama tahun 1835, telah
terjadi dua kali peristiwa perlawanan rakyat terhadap pemerintah kolonial
Belanda. Pertama, terjadi pada bulan Mei oleh rakyat disekitar dusun Tertik
yang telah menghancurkan pos keamanan Belanda yang ada di susun Keban.
Perlawanan rakyat terus berlanjut hingga bulan Juni. Sikap antipati Radja
Malio (Depati Tjinta Mandi) dapat diketahui melalui isi suratnya yang ditujukan
kepada Depati Tanjung Erang dan Proatin Benkoeloe Sabha Boekit serta
anak-buahnya yang ditulis pada tanggal 26 Juni 1835. Isi suratnya menganjurkan
agar tidak bekerja-sama dengan pemerintah kolonial Belanda terutama dalam hal
penyediaan tenaga kerja (kuli). Tampaknya anjuran itu cukup serius karena
disertai dengan ancaman, bahwa apabila ada diantara mereka yang masih
bekerja-sama dengan Belanda, maka akan bermusuhan dengan Depati Tjinta Mandi
yang sudah bersepakat dengan para proatin lainnya.
Sistem kontrol langsung
yang dilakukan oleh para ambtenar Belanda tidak saja dapat
menimbulkan sikap antipati para kepala pribumi, tetapi juga dapat menimbulkan
antipati spontan dari penduduk pribumi yang tidak suka ditekan kebebasannya.
Insiden terbunuhnya seorang gezag-hebber (penguasa) di Selumah
oleh orang-orang Pasyemah yang terkenal sifat kerasnya merupakan salah satu
bukti antipati spontan penduduk pribumi terhadap pemerintah kolonial Belanda.
Insiden yang menewaskan Tuan Boss itu terjadi pada tanggal 28 Juni 1835, ketika
orang-orang Pasyemah yang akan pergi ke Ibukota Bengkulu ditahan di perjalannya
oleh Tuan Boss dan akan dirampas senjata mereka. Orang-orang Pasyemah memang
terkenal sangat keras sejak zaman Inggris di Bengkulu. Sebagai kelompok preman
mereka tidak mempunyai pekerjaan selain sebagai pencuri, penyamun, dan perampok
yang selalu disertai dengan tindak kekerasan, bahkan tidak segan-segan
melakukan pembunuhan terhadap siapapun yang dianggap menghalanginya. Menurut
laporan para kepala pribumi di Selumah, orang-orang Pasyemah di samping telah
membunuh Tuan Boss, juga telah merusak dan menyerbu beberapa dusun di Distrik
Selumah dan Distrik Talllo. Tindakan brutal yang dilakukan oleh orang-orang
Pasyemah itu tidak hanya menimbulkan rasa takut di kalangan pejabat birokrat
kolonial saja, tetapi juga di kalangan kepala pribumi dan penduduk pribumi
lainnya. Perlawanan rakyat pegunungan suku Rejang terhadap Belanda telah
terjadi pada tahun 1838, yang mengakibatkan terbunuhnya Asisten Residen
Boogard. Perlawanan rakyat suku Rejang terus berlanjut hingga tahun
1857. Perlawanan rakyat dari dusun Tumedak, Tertik, Taba Padang, dan
Kelilik juga mengakibatkan tewasnya seorang kapten Belanda yang bernama Deleau
yang dikenal angkuh bahkan melecehkan penduduk, terutama para kepala dusunnya (Ginde).
Disinyalir tokoh yang berada dibalik peristiwa Tumedak diketahui bernama Rajo
Alam,
Ginde Sebetok, dan Ginde Ubei.
Kebijakan politik kolonial
Belanda tentang penerapan sistem pajak kepala (hoodfbelasting) dianggap sebagai
pemicu utama timbulnya perlawanan rakyat. Namun demikian, kebijakan politik
kolonial Belanda sebelumnya juga memmpunyai andil yang cukup penting dalam
memicu gerakan perlawanan anti penjajah. Penghapusan pemerintahan bupati (regentenbestuur)
telah mengakibatkan sikap antipati para elite pribumi Bengkulu. Seperti yang
terjadi pada Pangeran Muhamad Syah II dari wilayah Sungai Lemau yang telah
dibebas tugaskan dari jabatan regent secara resmi melalui Surat Keputusan
Pemerintah tertanggal 5 Desember 1861 La Me yang sifatnya rahasia. Pada tanggal
25 Desember 1862, Pangeran Bangsa Negara juga telah dibebastugaskan dari
jabatan Regent Sungai Itam melalui Surat Keputusan Pemerintah tertanggal 25
Desember 1862, Surat Rahasia La K. Jabatan Regent Sungai Itam itu tetap
dibiarkan kosong, hingga Pangeran Bangsa Negara sendiri telah meninggal pada
tanggal 6 Januari 1863. Sultan Takdir Kalipa Tullah Syah. Sultan Muko-Muko
pun telah dibebastugaskan dari jabatan regent melalui surat Keputusan
Pemerintah Hindia – Belanda tertanggal 22 April 1870 Nomor 41.
Selama tahun 1873,
setidaknya tercatat ada dua perstiwa perlawanan rakyat terhadap pemerintah
kolonial Belanda. Perlawanan rakyat dari dusun Tanjung Terdana pada bulan
April yang dimotori oleh Burniat dan Meradayan nyaris melumpuhkan pusat
pemerintahan kolonial Belanda di Fort Marlborough hingga mengancam nyawa
Asisten Residen H.C. Humme. Munculnya perlawanan rakyat Tanjung Terdana, selain
dipicu oleh pajak kepala hoofdbelasting juga karena kebijakan
penghapusan regenten bestuur. Menurut sebuah sumber, peristiwa
penyerangan tersebut dilakukan pada tanggal 18 April 1873. Demikian juga
perlawanan rakyat dari Bintunan yang dipelopori oleh pasirah Mardjati – yang
lebih dikenal dengan nama Ratu Samban. Menurut catatan sejarah, peristiwa
tersebut terjadi pada tanggal 2 September 1873 yang menewaskan Asisten Residen
Vam Amstel dan Controleur E.F.W. Castens.
BAB
III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Bengkulu atau dulu yang dikenal
sebagai Bencoolen, Benkoelen, Bengkulen atau Bangkahulu adalah
sebuah wilayah yang terletak di Pulau Sumatera, Indonesia. Di sebelah utara
berbatasan dengan Sumatra Barat, di sebelah timur dengan Jambi dan Sumatra Selatan sedangkan di sebelah selatan
dengan Lampung. Di Bengkulu terdapat berbagai kerajaan seperti Kerajaan Sungai
Serut, Kerajaan Selebar, Kerajaan Pat Petulai, Kerajaan Balai Buntar, Kerajaan
Sungai Lemau, Kerajaan Sekiris, Kerajaan Gedung Agung, dan Kerajaan Marau
Riang. Pada masa kekuasaan Kesultanan Banten, kerajaan-kerajaan tersebut
menjadi vazal dari Kesultanan Banten. Kedatangan kompeni asing
pertama kali datang pada tahun 1685 dimana Inggris mulai menerapkan hubungan
perdagangan di Bengkulu. Inggris bertahan di Bengkulu selama 140 hingga terjadi
Traktat London yang menyebabkan Bengkulu menjadi wilayah kekuasaan pemerintah
Hindia Belanda pada tahun 1825.
Selama masa pemerintahan
Belanda, terjadi berbagai perlawanan sebagai akibat dari kebijakan pemerintah
Hindia Belanda seperti penghapusan gelar kepangeranan, penghapusan hak-hak
tradisional para kepala pribumi yang sudah mengakar, serta mereformasi sistem
pengadilan tradisional yang sudah mapan, menimbulkan efek yang merugikan posisi
elite pribumi Bengkulu. Hal ini menyebabkan pembunuhan Asisten Residen Belanda
tahun 1833. Selama tahun 1835, telah terjadi dua kali peristiwa perlawanan
rakyat terhadap pemerintah kolonial Belanda. Pertama, terjadi pada bulan Mei
oleh rakyat disekitar dusun Tertik yang telah menghancurkan pos keamanan
Belanda yang ada di susun Keban.
Perlawanan rakyat terus
berlanjut hingga bulan Juni. Sikap antipati Radja Malio (Depati Tjinta
Mandi) dapat diketahui melalui isi suratnya yang ditujukan kepada Depati
Tanjung Erang dan Proatin Benkoeloe Sabha Boekit serta anak-buahnya yang
ditulis pada tanggal 26 Juni 1835. Isi suratnya menganjurkan agar tidak
bekerja-sama dengan pemerintah kolonial Belanda terutama dalam hal penyediaan
tenaga kerja (kuli). Tampaknya anjuran itu cukup serius karena disertai dengan
ancaman, bahwa apabila ada diantara mereka yang masih bekerja-sama dengan
Belanda, maka akan bermusuhan dengan Depati Tjinta Mandi yang sudah bersepakat
dengan para proatin lainnya. Dengan kata lain, para petinggi kerajaan-kerajaan
di Bengkulu membangkang dan melawan pemerintah Hindia Belanda. Selain itu juga
terdapat berbagai perlawanan yang dilakukan oleh rakyat Bengkulu seperti peristiwa
terbunuhnya seorang gezag-hebber (penguasa) di Selumah oleh
orang-orang Pasyemah pada tanggal 28 Juni 1835, Perlawanan rakyat pegunungan
suku Rejang terhadap Belanda telah terjadi pada tahun 1838, yang mengakibatkan
terbunuhnya Asisten Residen Boogard. Perlawanan rakyat dari dusun
Tumedak, Tertik, Taba Padang, dan Kelilik juga mengakibatkan tewasnya seorang
kapten Belanda yang bernama Deleau yang dikenal angkuh. Kemudian muncul
perlawanan rakyat Tanjung Terdana, yang dipicu oleh pajak kepala hoofdbelasting
dan juga kebijakan penghapusan regenten bestuur pada tanggal
18 April 1873. Demikian juga perlawanan rakyat dari Bintunan yang dipelopori
oleh pasirah Mardjati atau yang lebih dikenal dengan nama Ratu Samban dan
terjadi pada tanggal 2 September 1873 yang menewaskan Asisten Residen Vam
Amstel dan Controleur E.F.W. Castens.
3.2. Saran
Kita sebagai masyarakat
Indonesia harus mencintai budaya-budaya yang ada saat ini.
Peninggalan-peninggalan yang begitu besar di Indonesia membuktikan bahwa
Indonesia adalah negeri yang kaya akan budaya. Dengan cara merawat,melestarikan
dan tidak merusak budaya yang ada itu juga merupakan bukti cinta kita
terhadapan peninggalan budaya diIndonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Burhan, Firdaus. 1988. Bengkulu
dalam Sejarah, Jakarta: Yayasan Pengembangan Seni Budaya Nasional Indonesia
2. Dalip, Achmadin dkk. 1984. Sejarah
Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Bengkulu.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
3. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
1978. Sejarah Daerah Bengkulu. Jakarta: Proyek Penelitian dan
Pencatatan Kebudayaan Daerah
4. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
1982. Seksi Sejarah Perlawanan Terhadap Belanda 1. Jakarta:
Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional
5. Poesponegoro, Marwati D. Dkk,.
2010. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka
6. Setriyanto, Agus. 2006. Orang-orang
Besar Bengkulu. Yogyakarta: Penerbit Ombak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pastikan komentar anda adalah berupa pertanyaan, koreksi, atau hal serupa lainnya yang bermanfaat bagi anda atau pengguna lainnya dikemudian hari, komentar yang bersifat basa-basi sepert, thanks, semoga bermanfaat, atau hal serupa lainnya akan dihapus.