BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Masyarakat
Rejang, memiliki budaya yang beragam. Ragam budaya itu meliputi tulisan, adat
istiadat, hukum adat, hukum pewarisan, kesenian, dan sastra. Khusus untuk
sastra lisan, suku ini juga memiliki berbagai macam jenis sastra, antara lain
Nandei, Geritan, Berdai, Pantun, Syair, Sambei, dan Serambeak. Jenis sastra
yang disebut terakhir inilah yang lebih populer digunakan sehari-hari, baik
oleh orang tua, remaja, dan anak-anak dalam berinteraksi.
Suku
Rejang merupakan masyarakat dengan populasi terbesar di provinsi Bengkulu.
Beberapa kebudayaan mereka terpelihara dengan baik, mereka tidak mudah menyerap
kebudayaan atau apapun yang berasal dari luar adat-istiadat dan kebiasaan
mereka. Oleh karena itu sampai saat ini kebudayaan mereka masih terbilang asli.
Sejak zaman dahulu suku Rejang telah memiliki adat-istiadat. Karena
mayoritas suku Rejang masih mempertahankan kebudayaan mereka, tidak heran jika
hukum adat yang berupa denda dan cuci kampung masih dipertahankan hingga
sekarang. Suku Rejang sangat memuliakan harga diri, seperti halnya penjagaan
martabat kaum perempuan, penghinaan terhadap para pencuri, dan penyiksaan dan
pemberian hukum denda terhadap pelaku zina.
1.2.
Rumusan Masalah
1.
Bagimana Harta
Waris ?
2.
Bagaimana Sistem
Pewarisan ?
3.
Bagaimana Hukum
Waris ?
1.3. Tujuan
Penulisan
1.
Untuk mengetahui Harta Waris ?
2.
Untuk mengetahui bagaimana Sistem Pewarisan ?
3.
Untuk
Mengetahui bagaimana Hukum Waris ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Harta Waris
Pada
masyarakat yang berada di suatu daerah, terutama yang telah dipengaruhi Islam
atau yang telah memeluk agama Islam, pada umumnya memiliki sistem hukum-waris
yang mengacu kepada agamanya. Namun karena setiap daerah juga mempunyai
kebudayaan yang mereka tumbuh-kembangkan sendiri, maka sistem hukum-warisnya
pun berbeda-beda. Masyarakat Melayu yang sebagian besar beragama Islam
mempunyai sistem pewarisan yang dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu :
1) Sistem
pewarisan yang berdasarkan hukum Islam.
2) Sistem
pewarisan yang berdasarkan hukum adat setempat dan
3) Sistem
pewarisan yang berasal dari proses akulturasi antara hukum Islam dan hukum adat
setempat.
Dalam
sebuah keluarga Melayu, baik yang mempunyai keturunan maupun tidak, pada
akhirnya dihadapkan pada persoalan harta-benda yang dimilikinya (harta-waris),
baik karena kematian orang tua (bapak, ibu, kakek, nenek), maupun karena
perceraian.
Sistem
pewarisan pada masyarakat Rejang yang tinggal di
Provinsi Bengkulu dalam tulisan ini menyangkut masalah benda warisan, pewaris
atau ahli waris dan norma-norma adat yang mengatur pembagian warisan.
Masyarakat Rejang membedakan hak-waris ke dalam dua kategori, yakni: hak sorang
dan hak suwarang. Sistem pewarisan kedua hak-waris tersebut adalah sebagai
berikut :
1) Harta-waris
yang disebut sebagai hak sorang adalah harta benda seorang laki-laki atau
perempuan sebelum ia kawin, baik berupa hasil jerih payahnya sendiri maupun
berupa pemberian atau peninggalan orang tua yang diturunkan (diberikan)
kepadanya. Demikian seterusnya.
2) Harta-waris
yang disebut sebagai hak suwarang adalah harta benda yang berasal dari hasil
jerih payah suami isteri sesudah mereka kawin. Meskipun harta benda yang
dimiliki berasal dari hak sorang, apabila telah kawin hasilnya menjadi milik
bersama atau menjadi hak suwarang. Misalnya, sawah dan atau ladang bawaan adalah
hak sorang, tetapi hasil dari jerih payah mereka menggarapnya adalah hak
suwarang.
2.2. Sistem Pewarisan
Apabila
terjadi perceraian hidup (soak) dan tanpa dikaruniai anak, maka hak sorang akan
diambil orang masing-masing pihak dan hak suwarang akan dibagi sama rata.
Namun, apabila salah satu meninggal dunia, maka hak sorang dan hak suwarang
tersebut akan dikembalikan kepada keluarganya. Dalam pembagian tersebut berlaku
ketentuan adat yaitu, hak sorang berpulang dan hak suwarang berbagi. Makna dari
pepatah ini adalah harta yang menjadi hak sorang akan dikembalikan pada
masing-masing pihak, sedangkan harta yang didapatkan ketika sudah menikah akan
dibagi sama banyak antara suami dan isteri. Pepatah di atas memang berlaku
tetapi dalam beberapa hal saja, misalnya bagi suami-isteri yang setelah menikah
memilih adat menetap menurut asen semendo rajo-rajo.
Apabila
keduanya masih hidup dan kemudian bercerai tetapi telah memiliki anak, maka hak
sorang dan hak suwarang yang diambil tersebut nantinya akan diserahkan kepada
anak-anaknya. Namun apabila perceraian terjadi karena salah seorang meninggal
dunia, maka hak sorang jatuh kepada anak, dan hak suwarang dikuasai oleh yang
masih hidup. Harta peninggalan baik yang berasal dari sorang maupun suwarang
lama-kelamaan akan menjadi harta pusaka, dan apabila kedua orang tua telah
meninggal, maka harta pusaka tersebut dibagi ke seluruh ahli warisnya (anak,
orang tua, cucu, saudara kandung, saudara ayah dan ibu dan saudara sepupu).
2.3. Hukum Waris
Pembagian
harta-waris pada masyarakat Rejang sangat erat kaitannya dengan sistem yang
digunakan untuk menentukan jumlah warisan yang diterima seorang pewaris. Ada
dua sistem yang berkenaan dengan pembagian harta-waris, yaitu agiak lai dan
agiak titik. Agiak lai (pembagian besar) diterima oleh anak-anak pewaris,
sedangkan agiak titik (pembagian kecil) diterima oleh cucu-cucunya. Misalnya,
ada harta pusaka yang dipelihara bersama berupa pohon buah-buahan dan tebat
(kolam) ikan. Hasilnya dibagi rata dahulu sebelum diserahkan kepada ahli waris
pertama yang setingkat (anak-anaknya). Dalam pembagian tersebut, baik ahli
waris laki-laki maupun perempuan akan mendapat jumlah bagian yang sama
banyaknya. Ini artinya, sistem pembagian harta-waris pada masyarakat Rejang
tidak mengenal adanya perbedaan gender. Sedangkan apabila salah satu ahli waris
itu telah meninggal pula dan ia mempunyai anak, maka anak-anaknya berbagi lagi
dari bagian orang tua mereka. Pembagian inilah yang disebut agiak titik atau
pembagian kecil.
Dikalangan
suku bangsa Rejang di wilayah Lebong, jika si suami atau suami istri mati, maka
anak lelaki yang tertua mempusakai harta peninggalan mendiang. Jika tidak ada
anak lelaki yang tertua, maka harta peninggalan itu jatuh kepada anak perempuan
tertua, jika sama sekali tidak ada anak, maka harta peninggalan itu jatuh
kepada ahli waris si suami. Lazimnya di wilayah Lebong anak-anak mendiang ahli
waris dan bahagian masing-masing sama, kecuali anak lelaki yang tertua yang
mendapat lebih dari yang lain-lain. Dasar pemberian di atas adalah sesuai
dengan cara berpikir mereka; di tempat anak yang tertua itulah mereka adik
beradik berkumpul untuk membicarakan dan memupakatkan segala sesuatu yang
penting mengenai suku mereka; ke sana pulalah mereka kembali, jika di kemudian
hari mereka tidak mempunyai tempat lain lagi. Kedudukan istimewa anak yang
tertua tersebut di dalam istilah adat Rejang dinamakan tuban beun ’bagian
lebih’. Lazimnya ahli waris yang lain tidak menaruh keberatan terhadap tuban
beun tersebut, karena siapa di antara mereka keberatan, maka si anak tertua
menurut adat dapat menuntut pelapin baw ’upah’ dengan meminta uang sejumlah 24
rial dari tiap-tiap ahli waris yang keberatan. Pelapin baw ini merupakan upah
dari adik-adiknya mendukung kakak yang tertua.
Sebagai
catatan, menurut adat yang berlaku, urut-urutan pembagian harta-waris apabila
seseorang meninggal, ahli waris yang pertama adalah suami atau isteri kemudian
baru anak-anak. Jika tidak mempunyai anak dan isteri lagi dan masih mempunyai
orang tua maka hak waris jatuh kepada orang tua, dan bila orang tua pun tiada
lagi, maka hak waris jatuh kepada saudara sekandung yang tinggal dalam
lingkungan keluarga asalnya. Apabila saudara sekandung pun juga sudah tidak ada
lagi, maka harta warisan akan jatuh pada saudara ayah atau ibu dan saudara
sepupu. Namun di dalam prakteknya harta warisan ini tidak pernah dibagi
sebegitu jauh, sebab biasanya hanya sampai pada suami atau isteri, anak, orang
tua, cucu dan saudara kandung.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Berdasarkan
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hukum waris yang dianut oleh masyarakat
Rejang adalah hukum adat yang mereka tumbuh-kembangkan.
Suku
bangsa Rejang adalah salah satu etnik tertua di Pulau Sumatera. Etnik ini
sebagian besar berada di Provinsi Bengkulu, khususnya di Kabupaten Bengkulu
Utara, Lebong dan Rejang Lebong.
Semendo
rajo-rajo adalah adat menetap sesudah menikah yang boleh memilih untuk tinggal
di keluarga suami atau isteri atau kedua-duanya (bilokal). Adat ini biasanya
ditetapkan sebelum perkawinan dilaksanakan. Selain adat semendo rajo-rajo,
terdapat dua adat lain sesudah menikah, yaitu asen beleketasen semendo. Asen
beleket adalah adat menetap sesudah menikah di keluarga suami (patrilokal),
sedangkan asen semendo adalah adat menetap sesudah menikah di keluarga isteri
(matrilokal).
3.2.
Saran
Kepada
kalangan orang tua yang masih memahami dan menguasai dinamika kebudayaan adat
Istiadat Suku Rejang, diharapkan untuk menulis secara lengkap dan melestarikan
adat istiadat suku rejang yang kini sudah semakin berkurang. Mereka
pada umumnya tidak meninggalkan bukti tertulis tentang seluk-beluk hukum adat
Rejang diberbagai bidang . Jika kondisi ini terus berlangsung, dalam lima
dasawarsa mendatang, tidak hanya serambeak, tapi kebudayaan suku Rejang tidak akan
diketahui lagi oleh generasi mudanya. Selain itu, orang Rejang sendiri
terdistorsi oleh kebudayaan lain bahkan budaya asing.
Sudah
sewajarnya generasi muda sebagai generasi penerus mengadakan penelitian,
pengumpulan data, guna menggali dan menghidupkan kembali budaya yang tinggi
nilainya agar diketahui dan dipelajari oleh khalayak ramai.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan. 1979. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Bengkulu. Bengkulu:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
http://www.tamanmini.com
http://www.wikipedia.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pastikan komentar anda adalah berupa pertanyaan, koreksi, atau hal serupa lainnya yang bermanfaat bagi anda atau pengguna lainnya dikemudian hari, komentar yang bersifat basa-basi sepert, thanks, semoga bermanfaat, atau hal serupa lainnya akan dihapus.