Breaking

Thursday, May 21, 2020

MAKALAH ADAT REJANG TENTANG PEWARISAN

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Masyarakat Rejang, memiliki budaya yang beragam. Ragam budaya itu meliputi tulisan, adat istiadat, hukum adat, hukum pewarisan, kesenian, dan sastra. Khusus untuk sastra lisan, suku ini juga memiliki berbagai macam jenis sastra, antara lain Nandei, Geritan, Berdai, Pantun, Syair, Sambei, dan Serambeak. Jenis sastra yang disebut terakhir inilah yang lebih populer digunakan sehari-hari, baik oleh orang tua, remaja, dan anak-anak dalam berinteraksi.
Suku Rejang merupakan masyarakat dengan populasi terbesar di provinsi Bengkulu. Beberapa kebudayaan mereka terpelihara dengan baik, mereka tidak mudah menyerap kebudayaan atau apapun yang berasal dari luar adat-istiadat dan kebiasaan mereka. Oleh karena itu sampai saat ini kebudayaan mereka masih terbilang asli. Sejak zaman dahulu suku Rejang telah memiliki adat-istiadat. Karena mayoritas suku Rejang masih mempertahankan kebudayaan mereka, tidak heran jika hukum adat yang berupa denda dan cuci kampung masih dipertahankan hingga sekarang. Suku Rejang sangat memuliakan harga diri, seperti halnya penjagaan martabat kaum perempuan, penghinaan terhadap para pencuri, dan penyiksaan dan pemberian hukum denda terhadap pelaku zina

1.2. Rumusan Masalah
1.      Bagimana Harta Waris ?
2.      Bagaimana Sistem Pewarisan ?
3.      Bagaimana Hukum Waris ?

1.3. Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui Harta Waris ?
2.      Untuk mengetahui bagaimana Sistem Pewarisan ?
3.      Untuk Mengetahui bagaimana Hukum Waris ?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Harta Waris
Pada masyarakat yang berada di suatu daerah, terutama yang telah dipengaruhi Islam atau yang telah memeluk agama Islam, pada umumnya memiliki sistem hukum-waris yang mengacu kepada agamanya. Namun karena setiap daerah juga mempunyai kebudayaan yang mereka tumbuh-kembangkan sendiri, maka sistem hukum-warisnya pun berbeda-beda. Masyarakat Melayu yang sebagian besar beragama Islam mempunyai sistem pewarisan yang dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu :
1)      Sistem pewarisan yang berdasarkan hukum Islam.
2)      Sistem pewarisan yang berdasarkan hukum adat setempat dan
3)      Sistem pewarisan yang berasal dari proses akulturasi antara hukum Islam dan hukum adat setempat.
Dalam sebuah keluarga Melayu, baik yang mempunyai keturunan maupun tidak, pada akhirnya dihadapkan pada persoalan harta-benda yang dimilikinya (harta-waris), baik karena kematian orang tua (bapak, ibu, kakek, nenek), maupun karena perceraian.
Sistem pewarisan pada masyarakat Rejang yang tinggal di Provinsi Bengkulu dalam tulisan ini menyangkut masalah benda warisan, pewaris atau ahli waris dan norma-norma adat yang mengatur pembagian warisan. Masyarakat Rejang membedakan hak-waris ke dalam dua kategori, yakni: hak sorang dan hak suwarang. Sistem pewarisan kedua hak-waris tersebut adalah sebagai berikut :
1)      Harta-waris yang disebut sebagai hak sorang adalah harta benda seorang laki-laki atau perempuan sebelum ia kawin, baik berupa hasil jerih payahnya sendiri maupun berupa pemberian atau peninggalan orang tua yang diturunkan (diberikan) kepadanya. Demikian seterusnya.
2)      Harta-waris yang disebut sebagai hak suwarang adalah harta benda yang berasal dari hasil jerih payah suami isteri sesudah mereka kawin. Meskipun harta benda yang dimiliki berasal dari hak sorang, apabila telah kawin hasilnya menjadi milik bersama atau menjadi hak suwarang. Misalnya, sawah dan atau ladang bawaan adalah hak sorang, tetapi hasil dari jerih payah mereka menggarapnya adalah hak suwarang.

2.2. Sistem Pewarisan
Apabila terjadi perceraian hidup (soak) dan tanpa dikaruniai anak, maka hak sorang akan diambil orang masing-masing pihak dan hak suwarang akan dibagi sama rata. Namun, apabila salah satu meninggal dunia, maka hak sorang dan hak suwarang tersebut akan dikembalikan kepada keluarganya. Dalam pembagian tersebut berlaku ketentuan adat yaitu, hak sorang berpulang dan hak suwarang berbagi. Makna dari pepatah ini adalah harta yang menjadi hak sorang akan dikembalikan pada masing-masing pihak, sedangkan harta yang didapatkan ketika sudah menikah akan dibagi sama banyak antara suami dan isteri. Pepatah di atas memang berlaku tetapi dalam beberapa hal saja, misalnya bagi suami-isteri yang setelah menikah memilih adat menetap menurut asen semendo rajo-rajo.
Apabila keduanya masih hidup dan kemudian bercerai tetapi telah memiliki anak, maka hak sorang dan hak suwarang yang diambil tersebut nantinya akan diserahkan kepada anak-anaknya. Namun apabila perceraian terjadi karena salah seorang meninggal dunia, maka hak sorang jatuh kepada anak, dan hak suwarang dikuasai oleh yang masih hidup. Harta peninggalan baik yang berasal dari sorang maupun suwarang lama-kelamaan akan menjadi harta pusaka, dan apabila kedua orang tua telah meninggal, maka harta pusaka tersebut dibagi ke seluruh ahli warisnya (anak, orang tua, cucu, saudara kandung, saudara ayah dan ibu dan saudara sepupu).

2.3. Hukum Waris
Pembagian harta-waris pada masyarakat Rejang sangat erat kaitannya dengan sistem yang digunakan untuk menentukan jumlah warisan yang diterima seorang pewaris. Ada dua sistem yang berkenaan dengan pembagian harta-waris, yaitu agiak lai dan agiak titik. Agiak lai (pembagian besar) diterima oleh anak-anak pewaris, sedangkan agiak titik (pembagian kecil) diterima oleh cucu-cucunya. Misalnya, ada harta pusaka yang dipelihara bersama berupa pohon buah-buahan dan tebat (kolam) ikan. Hasilnya dibagi rata dahulu sebelum diserahkan kepada ahli waris pertama yang setingkat (anak-anaknya). Dalam pembagian tersebut, baik ahli waris laki-laki maupun perempuan akan mendapat jumlah bagian yang sama banyaknya. Ini artinya, sistem pembagian harta-waris pada masyarakat Rejang tidak mengenal adanya perbedaan gender. Sedangkan apabila salah satu ahli waris itu telah meninggal pula dan ia mempunyai anak, maka anak-anaknya berbagi lagi dari bagian orang tua mereka. Pembagian inilah yang disebut agiak titik atau pembagian kecil.
Dikalangan suku bangsa Rejang di wilayah Lebong, jika si suami atau suami istri mati, maka anak lelaki yang tertua mempusakai harta peninggalan mendiang. Jika tidak ada anak lelaki yang tertua, maka harta peninggalan itu jatuh kepada anak perempuan tertua, jika sama sekali tidak ada anak, maka harta peninggalan itu jatuh kepada ahli waris si suami. Lazimnya di wilayah Lebong anak-anak mendiang ahli waris dan bahagian masing-masing sama, kecuali anak lelaki yang tertua yang mendapat lebih dari yang lain-lain. Dasar pemberian di atas adalah sesuai dengan cara berpikir mereka; di tempat anak yang tertua itulah mereka adik beradik berkumpul untuk membicarakan dan memupakatkan segala sesuatu yang penting mengenai suku mereka; ke sana pulalah mereka kembali, jika di kemudian hari mereka tidak mempunyai tempat lain lagi. Kedudukan istimewa anak yang tertua tersebut di dalam istilah adat Rejang dinamakan tuban beun ’bagian lebih’. Lazimnya ahli waris yang lain tidak menaruh keberatan terhadap tuban beun tersebut, karena siapa di antara mereka keberatan, maka si anak tertua menurut adat dapat menuntut pelapin baw ’upah’ dengan meminta uang sejumlah 24 rial dari tiap-tiap ahli waris yang keberatan. Pelapin baw ini merupakan upah dari adik-adiknya mendukung kakak yang tertua.
Sebagai catatan, menurut adat yang berlaku, urut-urutan pembagian harta-waris apabila seseorang meninggal, ahli waris yang pertama adalah suami atau isteri kemudian baru anak-anak. Jika tidak mempunyai anak dan isteri lagi dan masih mempunyai orang tua maka hak waris jatuh kepada orang tua, dan bila orang tua pun tiada lagi, maka hak waris jatuh kepada saudara sekandung yang tinggal dalam lingkungan keluarga asalnya. Apabila saudara sekandung pun juga sudah tidak ada lagi, maka harta warisan akan jatuh pada saudara ayah atau ibu dan saudara sepupu. Namun di dalam prakteknya harta warisan ini tidak pernah dibagi sebegitu jauh, sebab biasanya hanya sampai pada suami atau isteri, anak, orang tua, cucu dan saudara kandung.   
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hukum waris yang dianut oleh masyarakat Rejang adalah hukum adat yang mereka tumbuh-kembangkan.
Suku bangsa Rejang adalah salah satu etnik tertua di Pulau Sumatera. Etnik ini sebagian besar berada di Provinsi Bengkulu, khususnya di Kabupaten Bengkulu Utara, Lebong dan Rejang Lebong.
Semendo rajo-rajo adalah adat menetap sesudah menikah yang boleh memilih untuk tinggal di keluarga suami atau isteri atau kedua-duanya (bilokal). Adat ini biasanya ditetapkan sebelum perkawinan dilaksanakan. Selain adat semendo rajo-rajo, terdapat dua adat lain sesudah menikah, yaitu asen beleketasen semendo. Asen beleket adalah adat menetap sesudah menikah di keluarga suami (patrilokal), sedangkan asen semendo adalah adat menetap sesudah menikah di keluarga isteri (matrilokal).

3.2. Saran
Kepada kalangan orang tua yang masih memahami dan menguasai dinamika kebudayaan adat Istiadat Suku Rejang, diharapkan untuk menulis secara lengkap dan melestarikan adat istiadat suku rejang yang  kini sudah semakin berkurang. Mereka pada umumnya tidak meninggalkan bukti tertulis tentang seluk-beluk hukum adat Rejang diberbagai bidang . Jika kondisi ini terus berlangsung, dalam lima dasawarsa mendatang, tidak hanya serambeak, tapi kebudayaan suku Rejang tidak akan diketahui lagi oleh generasi mudanya. Selain itu, orang Rejang sendiri terdistorsi oleh kebudayaan lain bahkan budaya asing.
Sudah sewajarnya generasi muda sebagai generasi penerus mengadakan penelitian, pengumpulan data, guna menggali dan menghidupkan kembali budaya yang tinggi nilainya agar diketahui dan dipelajari oleh khalayak ramai.  
DAFTAR PUSTAKA

 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1979. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Bengkulu. Bengkulu: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
http://www.tamanmini.com
http://www.wikipedia.org





No comments:

Post a Comment

Pastikan komentar anda adalah berupa pertanyaan, koreksi, atau hal serupa lainnya yang bermanfaat bagi anda atau pengguna lainnya dikemudian hari, komentar yang bersifat basa-basi sepert, thanks, semoga bermanfaat, atau hal serupa lainnya akan dihapus.